Melewati jalan-jalan kecil dengan pukulan angin yang kuat tidak membuatku lelah. Begitu pula dengan sepeda motorku yang ber cc besar seperti mengejek halangan hampa. Kacamata gogel masih berlapis tatapan jernih meski beberapa daerah debu menampar tak terhindar.
Aku tak mengambil istirahat. Apakah ini perjalanan langit? Aku tak peduli. Inilah jalan yang langka untuk kembali. Seperti mengendarai mesin waktu. Duapuluh? Tigapuluh? Ah mungkin diantaranya dan sebanyak itu? Memang teramat lama tak ku amati dan itu soal bertahun meninggalkan rumah, tidak sedikit tahun berjalan tanpa matematika.
Dan sekarang? I'm going home! Dan bike ini semakin ngegas pol, bunyinya melarikan segala hewan yang dijumpainya. Hampir sehari penuh berkendara, ketika ku mendekati perbatasan kota yang terpencil. Satu-satunya kota kecil dan luput. Bahkan sering di lupakan dalam terbitan gambar peta.
Dan aku mengendurkan putaran gasnya, perlahan menyusuri jalanan yang pernah ada di dalam otak namun berkali-kali hanya buram di kelopak.
Apakah perempuan itu masih tinggal di sana? Itulah pertanyaanku yang terutama dan mungkin satu-satunya yang kupunya. Karena selebihnya hanya kenekatan.
Apakah ia berkehendak menerimaku? Paling tidak menatapku? Lalu muncul pertanyaan ragu lain tentang perempuan yang pernah berada di rumah itu.
Aku berbelok patah, ku ingat ini satu-satunya kelokan yang ada, dan jalan ini akan memojok buntu, persis menghadapkan kepada pintu tusuk sate. Kuperlahan gas mesin untuk menyepikan suara, walaupun tak berhasil dan aku berhenti di depan pintu.
Dengan hati ragu mematikan mesin besi yang terasa menghangatkan udara. Aku membuka gogel dan scarf hijau yang melibat leher. Sedang jaket kulit ku buka dua kancing dan membiarkannya menggantung. Aku mulai melangkah perlahan mendekati pintunya, pintu kayu tebal berwarna kusam, kayu yang menyimpan banyak bisnis kehidupan.
Hah? Bisnis? Ya ampun! Akupun memundurkan bodyku yang ku yakin masih sexy.
Bagaimana jika perempuan di dalam nanti menanyakan bisnisku? Aku menggaruk rambut hitam indahku, dan mundur sekian langkah mendekati kuda besiku. Dan aku memasungkan paras cantikku ke cermin spion.
Buset! Bisnis apa yang mesti ku jawab? Sedang perempuan di dalam ini pasti tahu bahwa bisnis ku adalah bisnis kehidupan yang ku tinggalkan di rumah ini. Tiba-tiba aku bergetar, merasakan dingin di sekitar.