Ada puisi 'A Great Hope Fell' dari penyair wanita Amerika pertapa Emily Dickinson yang menuliskan, harapan besar runtuh dan anda tidak mendengar suara reruntuhan yang ada di dalamnya.
Saya jadi mengingat puisi ini, saat menyaksikan tim Indonesia kesayangan yang sudah memiliki harapan besar setelah menahan Thailand 2-2, tiba-tiba lebur dalam sekejap di kalahkan tanpa daya 4-0 oleh tim Vietnam.
Padahal harapan menggunung itu tidak serta merta menumpuk tinggi, melainkan naik perlahan-lahan seiring team Indonesia yang dilatih oleh Shin Tae yong telah menjadi suatu team yang berbeda.
Dari metoda teknik, fisik, dan mental, ditambah kabar-kabar yang haru-biru dari hasil uji coba selama melanglang buana ke penjuru negri, ternyata begitu rapuh di tangan tim Vietnam.
Seperti mengulang kaset jaman dulu, sesekali menggetarkan lalu rubuh berkali-kali, tak ada yang tersisa. Tidak terlihat bekas-bekas perlawanan menghadapi Thailand di saat menghadapi Vietnam, semua seperti hilang tanpa bekas.
"Football is football", kalah-menang, bermain baik-buruk adalah biasa, tapi saya pribadi bagai dihadapkan oleh sesuatu yang lebih sedih melihat pertandingan melawan Vietnam dini hari tadi. Tidak bisa bertahan, tidak bisa menyerang dan tidak bisa bermain bola di tengah. Hampir di seluruh waktu, pertandingan berjalan hanya di setengah lapangan Indonesia dan hampir seluruh pemain kita membentuk barisan pertahanan.
Bisa menahan skor kacamata pada babak pertama, selebihnya hanya soal waktu saja. Menjelang babak kedua, sulit buat pelatih Shin untuk merecover permainan dengan cara merubah strategi, karena pasukan sudah panik dan hilang fokus. Tidak ada konsentrasi lain kecuali bertahan untuk tidak kebobolan. Apalagi setelah gol pertama oleh penyerang Nguyen Linh dari umpan through pass lambung yang terlambat di kejar.
Linh yang menjadi tombak kembar bersama Phan Duc, membuat timnas mati gaya dan sulit untuk bangkit. Kekuatan serang formasi spesial pelatih Vietnam Park Hang seon, 3-5-2 adalah penguasaan lini tengah yang fleksibel baik sebagai kekuatan serang maupun kekuatan bertahan.
Gelandang tengah nomor 9 Nguyen Toan yang cepat, kerap menusuk ke baris depan, untuk menjadi trisula bersama, Phan Duc dan Linh. Belum lagi posisi gelandang serang Nguyen Hai yang membuat gol kedua dari tembakan jauh, sebagai spesialis tendangan mati, dan memiliki tendangan keras jarak jauh yang semestinya tidak boleh diberi ruang.
Kelemahan terlihat pada penjagaan yang kacau, ketika Nguyen Phuong melesakkan gol ketiga, penyandang Messi Vietnam ini dengan mudah menyontek bola sundulan dari tendangan sudut masuk ke jala Nadeo. Phuong sama sekali tak terjaga padahal ada sekitar lima pemain timnas didekatnya, sehingga pemain tampan jebolan Arsenal Academy ini bebas menerima bola tanpa halangan persis di depan jala Nadeo.
Pula terlihat jelas, sejak masuknya Phuong (10) di babak kedua, seakan fromasi Vietnam lebih berani bertransformasi dari yang malu-malu 3-5-2 menjadi 3-4-3, dengan tiga penyerang nyata sekaligus, yaitu Phuong, Linh dan Phan Duc. Gol keempat dan terakhir dicetak oleh kanan luar Vu Tanh, sang penjelajah, dari sisi kiri kotak penalti menembak dengan kaki kiri terarah, setelah melewati bek Arif Satria yang tanpa pelapis.