Lihat ke Halaman Asli

Band

TERVERIFIKASI

Let There Be Love

Perempuan Penyapu Daun

Diperbarui: 21 Mei 2021   23:59

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gambar oleh Enrique Meseguer dari Pixabay

Perempuan penyapu daun membelai sapunya ke tanah berulang-ulang dengan gerakan sama. Lembut yang seirama, dilanjutkan alunan seroknya mengangkat dedaunan kering. Tidak juga lebih baik dari sendok penyuap di meja makan. Perempuan itu masih muda rambutnya bergerai menutupi kedua pipi. Ku pikir tentulah dia gadis yang ayu. Tangannya yang lentik, mengapa menyapu daun-daun jatuh? 

Dan kantung besarnya yang hampir terisi penuh bergoyang seringan balon udara. Aku mendengar suara daun kering yang berkelompok dan berbaris. Srek, sreek, sreek..! Lalu masuk kedalam bulatan karung tadi, beberapa yang luput beterbangan menempuh kain perempuan penyapu, lalu jatuh kembali ke atas tanah. Seperti suara alam hanya gemerisik. Maksudku, suara gesekan daun-daun kering itu.

Dari ketinggian, aku masih bisa memperhatikannya. Dia menghapus keringat dengan lengannya yang mengalir di wajahnya. Tubuh kurusnya berhenti di muka karung bal, memuatkan serok terakhirnya, memenuhi, dan menyeretnya kedalam gudang. Lalu membongkarnya untuk menuangkan kedalam kotak besar penampung dekat pembakaran. Berulang, lagi dan lagi hingga daun memenuhi seluruh gudang. Sampai akhirnya senja mendekati, dia pun berhenti.

Apakah daun akan jatuh lagi? Aku mendekatinya berbasa-basi. Perempuan muda itu terkesiap melihat kehadiranku.
Tentu saja! Jawab bibir piasnya.
Lalu setelahnya, apa yang akan kau miliki? Aku kepo bertanya, mudah-mudahan tidak menyinggung hatinya.
Tidak ada!
Maksudmu?
Tak ada lagi yang mesti di beratkan, aku telah melakukannya lama. Balasnya.

Aku tidak puas dengan jawab cueknya, membuat kalbuku semakin bergelora ingin menyapa lebih.
Mmm, tapi daun akan jatuh lagi, kan? Kataku mengisyaratkan. Dia menatapku yang ternyata matanya begitu indah.
Daun-daun akan kusam karena bersentuhan dengan bumi. Tak ada yang bisa menghentikan warna, bukan? Dia menyahut sembari mengerling ke kerimbunan daun di atas kepalanya.
Maaf, aku Bayu! Salam ku memperkenalkan diri.
Aku Hijau! Sahutnya.
Tampak kamu bersiap pulang. Berkenan aku antar? Aku menawarkan tak yakin.
Maaf, tidak! Dia menjawab ringkas sembari merapikan sapu dan segala perlengkapannya.
Permisi!

Aku memerhatikan dia berlalu, berjalan gegas menelusuri pinggiran jalan yang membentang yang tak lama sosoknya menjadi lembayung di kejauhan. Geraknya ringan, seperti selembar daun. Aku mengusap bola mata untuk menekuni betapa sejauh perempuan itu berjalan hingga memburam menyatu bersama gambar perkampungan yang melatarinya.
Tak mengapa, masih ada hari esok. Aku melenguh seorang diri. Hanya pepohonan rimbun menemani, suara daunnya lebih lembut ketimbang suara sapuan gadis tadi. Lalu aku pulang, berjalan menanjak keatas.

***
Hijau tiba sehabis matahari menurunkan gaunnya, peralatan yang sama dan warna yang sama. Tubuh keringnya menurunkan perlengkapan yang membebaninya. Ku pikir perjalanan untuk mengumpulkan daun cukup melelahkan. Dia duduk sejenak, mengambil bekalnya sarapan yang berbalut daun. Perlahan menyuapnya dengan tangan. Sementara dedaunan kering mulai turun berbarengan, beberapa menimpa rambut indahnya. Aku tahu karena aku sudah hadir sebelum mentari, aku mengamatinya.

Musabab selama ini aku tidak tumbuh di daerah sekitar ini, aku baru beberapa minggu saja berada disekitar. Jadi tanah ini seperti kelahiran yang baru bagiku. Terlebih Hijau, nama gadis desa manis penyapu daun jatuh yang sedang ku perhatikan gerak-geriknya ini, pula baru ku kenal kemarin. Semoga saja dia tak mengetahui keberadaanku, karena saat ini diriku terhalang oleh rerimbunan daun. Pastilah dia tak melihatku.

Dan daun kering di pohon rimbun sudah seperti tak hendak terbendung untuk berebut turun. Hijau mengencangkan tali sapunya dan sapunya mulai membelai dedaunan yang telah rebah dengan irama seperti kemarin. Tak lama kantung balnya yang seperti balon sudah terisi penuh, bergoyang kekanan-kiri. Hijau menyeretnya menuju pintu gudang yang telah terbuka semenjak pagi lalu menumpahkan kumpulan daun kering yang saling bergesekan ke dalam kotak untuk pembakaran.

Tak terasa matahari mulai menyentuh kulminasinya, Hijau mulai terengah dan mengambil jeda siang. Kembali dia meraih bekal yang ku pikir mirip dengan penganan paginya, nasi dan lauk. Dia memakannya perlahan lagi. Dari jarak pandang, aku yang sedikit ragu mulai turun melangkah mendekati nya.

Bagaimana hari? Aku menyapanya.
Sama seperti kemarin. Jawabnya sambil berhenti mengunyah lembut.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline