Aku penyendiri. Aku punya sangat sedikit teman. Aku tidak bisa akrab bahkan dengan seseorang pun. Hanya seorang teman saja yang tersisa, dan temanku itu pasti seekor burung. Karena dia terbang. Setiap hari dia melayang di atas jendela kamarku, baik pagi, siang atau malam. Suaranya begitu banyak. Riuh. Cuit, cuiit, cuiiiit! Warna bunyinya jelek dan nadanya buruk. Tapi kehadirannya selalu menghiburku, mungkin aku orang kesepian, sehingga yang menanti bunyi. Karena bunyi itu benih dari aksara dan aksara itu akarnya kata, sedang kata adalah puisi.
"Apakah kau sudah memutuskan hidupmu menjadi pertapa?"
Dia mencuit setiap hari dengan irama yang sama. Pasti kurang lebih demikian maksudnya. Terlebih di malam hari, brisik sekali. Tapi aku bodo amat dengan celotehnya. Meski di dalam gelap malam mustahil melihat gerakannya, tapi ringkiknya mudah diterka kalau dia sedang berputar-putar di atas bubungan genteng kamarku.
Biasanya aku membuka jendela melongokkan kepala, dan dia senang, lalu cuitannya makin menjadi-jadi bahkan drama, seperti selebritis. Cuitan busuknya yang melengking di putar-putarkan mendekat dan menjauh. Dia pikir keren? Tapi aku menerimanya, karena dia sahabatku satu-satunya walaupun 'overacting'. Biar saja dia pansos. Suka-suka dialah!
Setelah kepalaku pegal, aku mengatupkan daun jendela, sementara dia malah mengeraskan cuitannya.
"Jangan ditutup dahulu! Aku masih mau bernyanyi!" dia menjerit, makin heboh caper.
Aku tersenyum sambil melangkah kembali ke ranjang tidur untuk membaca kompasiana. Emang nyanyian kamu bagus? Aku meledeknya dari balik kisi kayu jendela.
"Power saya hebat kan?" dia membalas.
"Wkwkwkwkwk..." jawabku
"Aku mau ikut 'Indonesian Idol'" dia mencuit ngawur
"Ssstt.. aku mau tidur!" jawabku tak acuh.