Lelaki dekat yang tiba-tiba menghilang tanpa berita akan menjadi hantu.
Lelaki pengghosting membuat rumah saya dipenuhi hantu. Mereka mengisi hampir segala ruang dari kamar tidur bahkan kedalam komputer. Seperti saban membuka kamar kompasiana saya melihat yang pernah nyata menjadi bayangan. Orang-orang sejenis itu menjadi kamar berhantu yang menebarkan bermacam ketakutan. Rasa kehilangan yang mendadak membuat saya seperti bulu-bulu harapan yang terbang ke semua jurus. Sakit tentu saja, bahkan bisa saja rasa hampa menjadi 'assassin'. Bukan saja membuat hati saya lelah namun juga kecantikan saya memucat kerna suhu terasa lebih dingin dari rumah tua berhantu atau kuda hantu yang terdengar di rumah biara.
Teror ini membuat saya suntuk, lalu saya memutuskan untuk meninggalkan segala kenangan dan pulang ke tepi kota muasal. Kerna mencari lelaki ghosting tak bisa membuat saya terobati, sementara waktu pun tak bisa mengobati, hanya meyimpan ke bagian lebih bawah tertutup kenangan baru. Saya mengerti dan pergi tanpa maksud mengobati, kerna memang tidak pernah ada dokter hantu.
Emak menyambut saya di pintu rumah masa lalu, matanya sepuh merebak.
"Aku mau kembali ke hantu kecil, Mak" kata saya di pelukannya. Tangan kering itu membelai rambut saya yang dulu sering di kepangnya. Dia menunjuk gentong besar di sudut dan menceritakan bahwa kenangan masa kecil saya begitu nakal ketika saya meninggalkannya, sehingga emak kewalahan dan mengurungnya di dalam gentong. Katanya hantu mungil itu sudah enggak bisa kemana-mana. Seketika saya bisa tertawa, mengingat kenakalan tomboi dahulu. Emak membelai senyum saya, barangkali terlalu lama saya mengghostingnya. Saya menangis dan berkata kepingin nyekar ke makam bapak, dan menanyakan apakah hantu bapak disini baik adanya? Emak hanya menatap lemah.
"Bapakmu sudah membawanya, nduk.." Jawabnya sendu. Saya ikut sendu menatap wanita tercinta yang terbalut baju hitam itu. "Itu sebabnya emak berpakaian hitam?" Tanya saya memaklumi. Sehabis itu kita terlelap melewatkan malam yang bersih dari semua kenangan rumah.
Di pagi pertama, kami meminum kopi lekat yang asapnya mengaroma dan hitamnya mengesankan, spesial bikinan emak yang hampir pula menjadi hantu di pagi saya. Emak menyiapkan bunga tabur yang ternyata sudah ada di sekitar meja riasnya. Saya merasa janggal kerna diluar kebiasaan emak menyisihkan bunga-bungaan di rumah, namun memakluminya ketika hantu bapak telah pergi dari ruangnya. Dan emak beralasan bahwa saban fajar dia nyekar bapak sehingga bunga harus tersedia di rumah. Saya sudah bersiap dan emak juga terlihat mengenakan baju hitam yang sama yang di pakainya kemarin. Lalu aku menggamitnya mennjelang tanah peristirahatan yang tak jauh berjarak dari rumah kami.
Cukup berlama kami di kuburan bapak hingga tanpa terasa mentari sudah merebut pagi, namun emak masih kusu merapal doa. Saya tak ingin mengganggunya, ketika emak mengeluarkan 'cardigan' hitam dari tasnya. "Emak dingin, nduk" . Saya membantu memakaikannya dan saya baru menyadari tubuh emak begitu kurus dan prihatin akan kesehatannya saat emak kedinginan, padahal mentari sudah berjalan meninggi.
"Mak, kita pulang saja" Saya mengajak.
"Kamu saja yang pulang, nduk. Emak masih agak lama..". Emak menjawab, matanya menatap keras kepadaku. "Pulanglah! Emak mau sendiri!"Lanjutnya bagai perintah. "Baiklah, aku akan menyiapkan makanan di rumah, ya mak" Jawab saya sedikit kuatir sambil melangkah meninggalkannya.
Sepanjang jalan saya masih memikirkan emak. Demikian berubah adanya membuat diri saya merasa bersalah, selama ini begitu lama rentang saya tak menjenguk maupun mengabari emak. Membuat saya 'ill feel' kerna telah 'ghosting' emak.
"Kamu nak Luna?" Kakek tetangga menegur saat saya menyisir mendekat rumah. "Mbah Kikuk..?" Coba saya, menduga. " Iya. Darimana, nak Luna?". "Nganter emak ke makam, mbah" . "Emak??" tampak mbah Kikuk terkejut, wajah tuanya pasi.
"Maaf nak, kamu belum tahu? Bahwa emak sudah lama ndak ada.." Lanjutnya terbata. Lalu saya mematung sejenak dan secepat berlari berbalik menuju makam. Dari kejauhan saya tak melihat siapapun disana dan saat saya mendekat hanya terlihat kuburan bapak dan bunga yang dibawa emak. Di sebelah kuburan bapak ada sebuah kuburan baru bernisan emak. Lalu saya terhempas di kedua tanah gunduk itu menangis sejadinya hingga mentari hampir pulang. Seketika saya menyadari harapan bahwa hantu emak masih bisa saya jumpai dirumah, saya pun memburu pulang.
"Emaaak.." saya berteriak menghambur pintu. Namun tak terasa tanda, rumah bening tanpa aroma emak, membuat segala tubuh saya lemas tanpa gerak.
Pagi baru merekah, seorang pemuda tampan celingukan didepan pintu rumah emak yang terbuka sejak semalam. Ragu pemuda itu masuk melangkah, membuat seketika saya terkesiap mendapati bahwa pemuda itu Rudi, pujaan saya yang 'ghosting'. Saya benci dan diam tak hendak menyapa.
"Luna..." Dia memanggil tanpa jawab sambil berjalan memeriksa sekeliling ruang melewati sosok saya namun dia tak melihatnya, sedang saya tetap diam tak bergerak. Lalu Rudi kembali menuju pintu keluar.
"Mencari siapa anak muda?" Mbah Kikuk muncul tiba-tiba seperti kuncen. "Luna, mbah" Jawabnya gugup. Wajah Mbah Kikuk menimbang.
"Mmm.. biasanya dia pergi ke makam..". "Dimana, mbah?". "Oh, baik saya antar saja" Terdengar mbah Kikuk menawarkan.
Lalu kedua lelaki beda generasi itu beriringan menuju makam. Melihat mereka bergegas, saya segera keluar rumah berlari menyusul mereka berdua dan berusaha mendahului mereka untuk tiba lebih dahulu disana.
Sehingga ketika mereka tiba disana, mereka akan menemukan telah ada tiga kuburan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H