Enam mentri subtitusi, pasti bukan seperti cadangan pemain di sepakbola. Berkostum' hoodie parka' berwarna biru langit, keenam 'supersub' ini diperkenalkan oleh presiden JokoWi, kemarin 22 Des 2020. Entah kenapa ada warna biru diatas warna putih, barangkali seorang penyair bisa mengatakan langit lebih tinggi dari awan, atau awan ditarik dan terlihatlah langit. Whatever.
Setelah sekian lama gonjang ganjing media masa yang brisik dengan pikirannya sendiri soal 'reshuffle', dan semakin menggelinding sehingga 'reshuflle' seakan menjadi mantra di masa panjang dan melelahkan dalam 'pageblug' ini. Lalu Kabinet Indonesia Maju dan fans 'reshuffle' menemukan momentum mereka ketika ketika terjadi impuls atau tumbukan keras terhadap semesta, yaitu korupsi benur dan bansos. Engsel pun bergerak dan pintu 'reshuflle' terbuka. "Jreng..Jreng..".
Dan enam punggawa pengganti diperkenalkan, lalu menyeruak keterkejutan, spekulasi, harapan, pesimis, biasa aja dan analisis yang seadanya, di ada-adain atau segala ada. "Kenapa cuman enam?" saya bertanya tanya dari dalam hati. "Maunya berapa sampean?" kata hati. "Banyak!" maunya saya.
"Kenapa?" Saya bingung karena banyak mentri yang saya enggak tauk, baik nomenklaturnya, namanya, apalagi rekam kerjanya. Apa mentri yang enggak saya tauk itu enggak kerja atau diem aja, tentu saja tidak. Tapi saya bener bener tidak tauk? Sumpah! Eh! Banyak yang seperti saya enggak sih? 'Help' dong! Kalo gitu, boleh saya usul kepada pak JokoWi, bagi mentri yang sudah dipilih harus ada tambahan syarat, bahwa dia harus mencari cara untuk terkenal atau dikenal rakyat. Sehingga saat dilakukan 'reshuffle' kayak gini, kita enggak bingung, kenapa mentri yang di ganti harus enam ( Nomor punggung Paul Pogba)? Kenapa enggak tujuh ( Christiano Ronaldo)?, atau kenapa enggak sepuluh (Messi)?
Ya sudahlah. Tinggalkan masalah nomor punggung, dan kembali ke enam mentri pengganti, suka tidak suka, saya melihatnya ini semacam bentuk formal gugus tugas pandemi terkabinet, yaitu suatu struktur team formal didalam kabinet yang bekerja sebagai 'commissioning' atau pemulusan untuk lepas landas periode pandemi ke periode vaksinasi.
Mungkin saya sebut 'Reshuffle Ghostbusters', pemburu hantu (virus). Memang terlihat dari beberapa sayap yang mesti dikuatkan dan diseimbangkan guna pemulusan pelaksanaan vaksinasi Covid19, dari sisi bantuan sosial (kemensos), manajemen pandemi (kemenkes), keagamaan (kemenag), dan struktur marginal seperti nelayan, kaki lima, jasa jalanan dst yang dikover oleh kementrian KP. parekraf dan perdagangan.
Jadi di masa sendyakala virus corona 19 yang memorak poranda sosial ekonomi, dimana 'saturated' dan 'blankspot' pemerintah telah menjadi pintu lebar oposisi untuk mendapat bangku bonus massa yang sensitif 'desperate'. Menyiratkan pesan bahwa perjuangan menuju akhir covid19 menuju keberhasilan 'remedy' vaksinasi yang sudah di depan mata, adalah bukan soal gampang.
Setelah berdarah darah berperang dangan virus corona19 tentu pemerintah tak akan mau kembali 'bleeding' di tahap periode vaksinasi bila terjadi kegagalan capaian target vaksinasi 160 juta orang, lepas dari perdebatan kekebalan kelompok atau 'herd immunity' yang gak jelas. Yang berarti pada periode antara, yaitu periode akhir covid19 ke awal kekebalan vaksinasi bisa menjadi periode rentan.
Dan nampaknya , enam punggawa baru ini diangkat untuk misi 'Ghostbusters', memuluskan jalan dari halangan untuk langsung turun ke jalan, memercayakan diri masyarakat dengan keadilan bansos (Bu Risma), keadilan vaksin (Budi Sadikin), kesahihan vaksin (Yaqut Cholil), harapan usaha kecil (Sandi Uno), nelayan (Wahyu Trenggono) dan lalulintas vaksin (M Lutfi).
Perkara lain mungkin hanyalah bumbu, seperti mengapa menkes bukan dokter, tapi bankers. Pastilah profesional dan manjerial selalu menjadi tolak ukur. Makanya disiasati dengan penunjukan wamenkes yang dokter. Ada juga referensi negara lain yang menkesnya bukan dokter, seperti Jepang, Australia, Arab Saudi dan beberapa negara lain yang sayangnya lebih maju dari kita. Bu Risma yang berwawasan kota harus bertransformasi nasional apakah menjadi mensos atau menbansos, mungkin tinggal lihat saja nanti waktu yang membuktikan.
Namun yang menggelitik, kenapa Bu Risma baru masuk sekarang, tidak dari awal, sehingga kasus korupsi bansos gak bakal kejadian. Kerna hakekat menteri sosial itu mulia, sangat lekat dengan sila kelima yaitu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.