Siang masih menyisakan terik. Panas seperti tersendat, mengambang di sekeliling pekarangan. Padahal sejak aku pensiun beberapa tahun silam kerimbunan taman yang pernah terabai, telah ku ubah menjadi semak hijau, namun panas rupanya lebih kuat, menyela segala hijau teduh.
Lalu lalang kendaraan di depan rumah yang tenang, sedikit meredam kemarau yang sudah sampai di ujung. Aku masih menatap jalan lewat kisi jendela kamar, saat seseorang kurir menghentikan sepeda motornya tepat di sisi pintu pagar.
"Paket, Om!" dia memanjangkan lehernya.
"Sebentar!" aku menyahut penuh tanya. Dia menjulurkan sepucuk amplop berwarna biru langit. Kuterima sebuah amplop polos, tanpa tulisan alamat maupun pengirim.
"Saya tak mengerti?" amplop itu ku kembalikan.
"Tapi sudah terregister tanggal kemarin dan alamat ini. Bapak Lulagi bukan?"
"Betul"
"Silakan terima"
Lalu kurir melaju gas pol, meninggalkan aku dan sepucuk surat.
Sambil melangkah masuk, ku buka amplop biru yang berisi surat warna biru serupa, bertuliskan huruf bertinta biru pula. Ku ambil duduk di sofa untuk membaca tulisan tangan yang langka untuk sehelai surat. Tanpa tertulis tempat dan tanggal, surat itu memulai dengan namaku.
Dear Lulagi,
Aku sudah membaca suratmu dan aku tak tau harus menjawab apa. Kala itu kita memang kerap berbincang soal apa saja, tapi bukan mengenai cinta. Kenapa kamu baru mengatakannya di ujung, ketika kita lama terlibat merasakannya. Terus terang aku menantinya dan juga yakin kamu pun menunggunya. Sedang aku seorang perempuan tak mungkin mengatakannya pertama, dan kamu begitu terlambat menyatakannya. Kini, meski ku cinta kamu, tapi tetap saja tak bisa mengubah kehidupan.
Cintamu, Gwesen