Lihat ke Halaman Asli

Band

TERVERIFIKASI

Let There Be Love

Catatan Akhir Kepergian

Diperbarui: 11 Agustus 2020   17:21

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gambar oleh Yerson Retamal dari Pixabay

Ini cerita tentang kematian Maryam, saat papa beranjak tua, meski sudah lama tidak merokok sejak ditemukan sumbatan di jantungnya. 

Di ruang tunggu surgeri, papa tampak lebih tua, pipinya cekung, dahinya bergaris garis sementara kumis halusnya masih tetap menawan di raut wajah lelaki yang genuine. 

Cahaya matanya sirna, meski kabut di mata tak berkehendak melelehkan air mata. Dia teguh, tidak pernah menangis, seduka apa, sepahit apa, sekelam apa, semua tersimpan di hati yang paling dalam, sejatinya tak mudah menduga selayak apa remuk hatinya.

Aku menggenggam penuh jemari tangan papa untuk meredam duka dan membagi beban batin. Papa biasa terdiam lama, mensunyikan diri dan ruang, ke ambang batas pendengaran dan indera rasa. 

Kepalanya tertunduk memandangi paras cantik Marya, anak perempuan bungsunya yang barusan melepas nafas terakhirnya. Genggamanku semakin rapat, sementara air mata mengalir deras, menjadikan bayangan buram wajah adik semata wayang yang tertidur kaku dihadapanku. 

Di kamar intensif ini hanya aku, papa dan Marya, adikku yang berusia 10 tahun di penghujung bulan dingin ini. Perban tebal masih membebat tempurung kepalanya.

Terlintas, sejak terdeteksi tumor otak, kondisi Marya menjadi ekstrim. Berawal dari kejang dan pusing, dalam hitungan hari, muntah dan hilang keseimbangan yang menderanya membuatnya rebah di pembaringan. Seterusnya berkas cahaya mulai menyakitkan matanya, memaksaku menutup semua tirai dan memadamkan semua lampu kamar tidurnya.

"Mataku sakit dalam cahaya, Kak," satu kalimat terakhir yang keluar dari bibir kecilnya. Setelah itu berturut-turut hanya laju ambulans, hospital dan rangkaian padat observasi, pemindaian, biopsi, hingga sang pamungkas, yaitu pembedahan otak.

Ya Tuhan, penyakit ini begitu cepat memburu tanpa jeda, tanpa belas kasih, membuat Marya terus menerus terpejam tanpa kesempatan memikirkan apa yang sedang dan akan terjadi.

Dipagi yang keruh itu, papa meneken persetujuan pembedahan, sedang aku hanya memandang kehampaan yang ada didepan. Kepalaku berusaha keras mencerna keikhlasan untuk menerima operasi ini, kenapa tumor itu begitu rakus menguasai benaknya. 

Dokter ahli bedah otak mencengkam pundak papa, sebuah lengan yang besar, lengan kuat yang mulia, namun dia tidak berkata sepatah jua, serupa halnya dengan papa. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline