Ini malam pertama aku menikmati lagu yang dinyanyikannya. 'Tetap Dalam Jiwa', lagu yang biasa dibawakan Isyana Sarasvati. Menurut saya, perempuan biduan ini selain berparas cantik juga bernyanyi merdu, suaranya tak selain indah saja tapi lebih dari luapan jiwa. Dia berdendang sendiri bersama kibornya tanpa iringan grup band kecil di stage kafe.
Seperti kali ini, jemarinya membelai mata piano elektrik mengikuti dinamika suaranya yang mengiris hati, namun terkendali dalam ketenangan. Dinaung cahaya remang siluet panggung, saya menatap lebih kepada sesuatu babak pendek tentang kehilangan yang dilagukan. Menyajikan tawaran lain, bahwa nyanyian sakit itu juga salah satu bentuk dari keindahan.
Dan tak terasa irama lagu patah itu sudah selesai, ketika ditandai dengan tepukan para pengunjung kafe. "Terima kasih" ucap sang biduan masih merunduk diatas tuts.
Tertangkap oleh mata saya, sekilas bibirnya tipis tersenyum, yang kaku bagai keterpaksaan yang saya telan dengan ada rasa getir. Saya tidak tahu mengapa saya menjadi 'baper', sehingga tak secuilpun rasa ingin untuk bertepuk memberi aplus.
Mungkin otak didalam kepala saya lebih bereaksi bahwa ini bukan keindahan panggung, melainkan keindahan dari suatu kehilangan. Dan saya merasa nyaman untuk merasakan didalam hati tanpa gembira seperti pengunjung yang lain.
Lalu biduan itu beringsut kebelakang panggung dalam langkah yang diam, meletakkan kami para pesonanya tetap duduk manis, seperti takkan pernah terjadi sesuatu apa, kecuali penggantian penyanyi band yang lain.
Saya masih duduk sendiri di warna kabur udara kafe, mencoba mengalihkan rasa untuk mencerna lagu berikut di panggung. Seorang biduan lelaki bertipe 'rock' yang saya pikir tampak siap mengguncang.
Namun dalam intro yang di awali, saya pun segera akrab. Ternyata satu lagi tawaran kesedihan dari suara parau tentang 'rock' yang melankoli, terdengar 'As long as I can see the light' dari CCR yang begitu silam. Yang terasa indah dari kementahan suara, melelehkan kepedihan seperti lagu disebelumnya. Dan saya merasa dobel sedih, seperti sembilu menuansakan patah yang tak hendak rehat.
Barangkali betul kata orang, datanglah ke kafe 'Lonely' ini, guna menggenapi rasa sempurna kehilangan, kepedihan, sakit, derita , patah hati, dan segala turunannya.
Sementara ditengah kebaruan dari kehadiran saya di kota pantai yang kecil ini, saya harus mengawali pencarian kesendirian yang baru, tak hendak tertarik kembali kedalam atmosfir hidup saya yang sedang berjalan stagnan.
Tak lain saya mesti berinteraksi guna menembus batas pandang langit yang lain, dan lalu saya beranjak mengitari kafe lalu tiba di belakang halaman. Tampak biduan perempuan itu sedang menyendirikan lamunannya dengan sebatang rokok berasap pekat.