Semenjak itu aku membenci awan. Yak, ini teramat personal, ketika Kornelia ku pergi ke pangkuan yang kuasa, aku terpukul dan terpuruk. Kornelia cantik adalah kekasih terakhir yang ku cinta setengah mati. Dia seorang pramugari dengan banyak jam terbang, sehingga terkadang waktu darat demikian membuat kami lebih mabuk dari mabuk udara. Kornelia di udara merindu darat dan aku yang didarat menunggu waktu udara, sehingga ketika kami berjumpa di bumi, seperti ledakan cinta bersalut rindu. Kerna apalah cinta tanpa rindu?
Kornelia pergi dalam satu 'aircraft crash' seperti kadang terberitakan di koran, membuatku tak percaya namun fakta. Memunculkan luka dalam yang tak terlihat namun sakit. Itulah derita. Meski takdir atau kematian adalah kepastian dan enggak bisa ditunda, aku masih membawa luka menerima atas ketidak mungkinan yang sudah pasti. Lalu aku seperti mencari pegangan, ketika kekasih hati tak lagi berujud. Tak ada celah yang harus menjadi kambing hitam sebagai pembenci, kecuali awan.
Kerna kekasih Kornelia, kerap bertutur tentang awan, disaat rasa rindu memerangkapnya diatas board pesawat yang sedang melayang. Bahkan terkadang aku cembokur kepada awan yang dikisahkan begitu lembut membelai sayap sayap kapal terbangnya, menularkan turbulensi yang menyenangkan. Sehingga aku begitu terobsesi bahwa dia menduakan aku, Kornelia berselingkuh dengan awan.
Dan itu terus menghantui sehingga menurunkan kualitas hidupku, makanya aku sekarang berkacamata hitam untuk tidak hendak mengerling awan sekali jua. Kecuali ketika matahari telah meredup dan menenggelamkan awan dalam kehitaman, barulah ku rasa aman untuk berkehidupan dengan lega hati.
Dan kini tak terasa telah setahun berjalan aku hidup tanpa Kornelia, hanya masih bersanding lekat dengan kenangannya, tapi tidak dengan awan yang masih tetap ku anggap sebagai musuh bebuyutan dan kompetitorku. Namun seiring waktu jua aku menjadi sedikit membuka hati dibanding masa rapat saat kehilangan belahan jiwa.
Aku mulai berkenalan dengan seorang perempuan bening bernama Angel, walaupun semula aku cuek bebek saja, namun Angel ini begitu transparan dalam hal laku dan wicara. Menyenangkan dan indah apa adanya, tutur katanya pula jauh dari membosankan. Dia tipe seorang wanita yang sederhana namun 'glowing'. Dimana dia berada di sebelahku, aku jadi melupa bahwa aku sedang hidup diruang 'hermetik' ruang yang kedap udara dan tak tembus sinar bak drakula.
Angel membawa diriku keluar dari kungkungan pagebluk ini, sehingga tanpa terasa aku menjelma menjadi diriku yang dulu, persis seperti kisah didalam lagu lagu nostalgia. Dan kami semakin rapat, apalagi ku merasa bebanku membenci awan kadang terlupa akan kehadiran Angel.
Habis dia itu, udah deh, seorang gadis yang begitu ringan, pemecah kebisuan, peluruh kebencian dan masih banyak lagi yang, maaf, tidak bisa aku sebutkan satu persatu selain cantik rupa dan elok hatinya. Dalam kesengsemanku, aku berencana akan mengikrarkan cinta kepadanya, alias nembak bahasa melineialnya atau anti kolonialnya.
"Angel.." aku menyapa saat kami duduk berdua di sebuah taman hiburan malam. "Hmmm..." Dia menjawab kenes. "Aku.." tiba tiba mulutku kelu. "Aku apa sih mas..?" sahut bibir rekahnya. Tanpa komando Angel membelit mesra tanganku merapatkan tubuh langsingnya.
"Aku mencintaimu Angel.." akhirnya ku berucap serius sekali. Menatap raut elok disampingku yang demikian ku harap balasan dengan pede banget, bahwa Angel akan menerima jadian asmara ini. Tapi harapan besar itu tiba tiba rubuh, ketika Angel hanya terdiam menatap kosong jauh kedepan. Tubuhnya pun yang semula nempel pada kulitku, ditariknya bergeser. Dia tidak berusaha untuk menatapku apalagi menjawab proposal lisanku.
"Maafkan bila ku salah, Angel.. tapi betul aku cinta kamoeh.." sambungku perlahan masih usaha. Namun Angel masih bungkam, bibir indahnya sama sekali tak terlihat bergerak, malah dia bangkit berdiri. Menatapku seperti ada duka, matanya basah mengkilat, lalu tubuhnya seperti mengisyaratkan 'godbye' kepadaku. Tanpa suara, Angel berbalik dan meninggalkan ku sendiri di tepi malam.