Lihat ke Halaman Asli

Band

TERVERIFIKASI

Let There Be Love

Elysium

Diperbarui: 24 April 2020   13:13

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gambar oleh Comfreak dari Pixabay

Telah empat belas hari saya terbaring disini. Diatas ranjang putih dikepung selang dan peralatan elektrik medik yang tidak saya pahami. Hanya satu selang sedikit besar yang menusuk kerongkongan saya yang terasa mencipta semaput di segala saraf saya. 

Selangnya yang penuh udara mendesakkan oksigen kedalam paru paru saya yang sudah terasa seperti paru metal kaku dan pejal. Jadilah saya mengikuti apa gerak mesin itu yang menghembus lalu membuang lagi seperti mesin bernapas. 

Di kamar saya yang sendiri terbersit kesadaran akan fana, masih ada kejernihan di kepala untuk tidak melongok batas filosofi napas, meski ketabahan jiwa berkali menawarkan fiksi yang enggak jelas. 

Oh iya, kami bersebelahan, maksud saya ada kamar sebelah berbatas dinding lunak mungkin berbahan partikel board, dimana walau samar terkadang saya bisa mendengar suara pasien tetangga sebelah saya ini. 

Barangkali sekaligus saya informasikan saja, mudah mudahan tidak mboseni, jadi teman sebelah ini lebih senior, entah berapa lama sudah menetap di kamar perawatannya. 

Soal level keparahan, saya tidak tahu pasti, hanya terkaan saya dia tidak lebih bagus juga. Meski jelas kami tidak pernah bertatap muka, tapi saya merasakan bahwa dia telah menjadi seorang teman selama saya mondok disini. 

Saya selalu menjadi kepo dengan memasang telinga saya lebar lebar untuk mencari suara apapun yang terdengar dari kamar teman sebelah ini. 

Saya memang, tidak pernah mendengar  pita suaranya, kecuali suara petugas medik atau dokter yang visit. Namun seiring waktu berjalan, saya kerap mendengar suara langkah kaki terlebih di malam hari. Langkah tekanan kaki yang berubah rubah, ada terdengar berat dan terkadang ringan.  

Langkah teman sebelah itu seperti hanya berputar putar atau maju mundur. Suaranya akan semakin lambat dan ringan ketika langkah kaki seperti mendekati daun pintu kamarnya, terus terdengar memberat saat menjauh pintu kamarnya. Kemudian biasanya, ada jeda yang cukup panjang, barangkali sang teman beristirahat duduk atau rebahan di brankarnya, saya duga. 

Kekepoan saya jadi semakin membuncah gaes! Dari kebekuan di ranjang, saya menjadi seperti mencandu, menjadi addict, untuk menerka bahkan mengharap suara suara langkah kawan sebelah ini. 

Langkah langkah yang penuh keraguan, iya atau enggak sih? Seperti itu, sehingga menempatkan jiwa saya bagai menunggu ketidak pastian dan menanggung frasa rasa menggantung.  Ketegangan yang perlahan juga membubung menghantui lebih daripada derita ventilator yang mendesak dada.  

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline