Lihat ke Halaman Asli

Band

TERVERIFIKASI

Let There Be Love

BPJS, Box yang Terlalu Besar untuk "Out of The Box"

Diperbarui: 10 Maret 2020   14:13

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pemerintahan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Januari lalu saya dengan hati berat, terpaksa men'down grade' kualifikasi saya sebagai pengikut BPJS mandiri dari kelas 1 terjun bebas ke kelas 3  yang terasa 'as the bottom of the sea'. 

Entah berapa banyak orang yang melakukan lompatan jatuh bebas ini dari sekitar 16 juta penikmatnya.  Kenaikan iuran peserta BPJS yang mendua kali lipatkan dan perjalanan keniscayaan saya yang renta membikin saya bagai 'no way out' untuk memadukan saja kenaikan penguasa dan penurunan kemampuan personal, bertemu di satu titik dasar saya di BPJS kelas 3.

Malangnya sebulan kemudian penyakit katastropik saya mendongkel tubuh saya untuk dirujuk sebagai pasien rawat inap rs rujukan. Sementara otak saya masih di remote level kelas satu, namun kenyataan kelas 3 menendang otak 'as usual' saya. 

Perintah manjemen perawatan inap sesuai klausul kontrak, terekam  oleh otak saya , ini bagai vonis kejam yang lebai. Namun sayang ketika otak saya sudah mau kompromi, informasi ruang rawat inap kelas 3 penuh. 

Otak saya kembali terbujuk melonjak untuk minta naik ke kelas2 dengan syarat BPJS plus plus sesuai syarat di klausul. Namun sayang lagi, ternyata kelas2 pun penuh. Tetapi saya tak lekang berjuang untuk memohon naik lagi ke kelas 1 seperti lelang. 

Jawaban mereka 'No way, man', BPJS enggak mengatur lompat dua tingkat. Mendengar ini saya tiba tiba menjadi bodoh kuadrat, dan tak hendak melanjutkan cerita ini kepada sudara sudara sekalian yang lagi ngebaca tulisan ini.  

Sehabis 'tragedi' diatas dan antara sehat yang gimana gitu, saya menghubungi kacab BPJS setempat untuk minta naek kelas, kembali ke kelas 1, what ever, kumaha engke we, saya sedikit nekad. Namun petugas BPJS yang sabar menjelaskan 'no way man' tak lah bisa naek sakarepmu, tunggu setahun lagi. 

Meskipun saya ngotot bahwa dari berita, perobahan kelas bisa dilakukan sampe batas April, tapi rupanya lagi lagi di jelaskan bahwa itu untuk perubahan turun kelas dan berlaku sekali, enggak boleh turun terus naik lagi, apalagi terus turun lagi. Saya manggut manggut, merasa lagi lagi bodoh pangkat tiga, dengan mendekap kartu BPJS saya dengan status kelas3.

Dan tiba tiba kemarin, dalam amar keputusannya, MA membatalkan kenaikan iuran BPJS yang telah di tetapkan per 1 Januari 2020. Apakah saya gembira? Ternyata biasa aja, tuh. Karena saya sudah berpikir global, sebagai minoritas 16 juta dari total 218 juta fans blauran BPJS, udah enggak mikir lagi besaran berapa iurannya.  Lebih guna memikirkan kesiapan mentality menghadapi kenyataan fasilitasi yang diberikan faskes atau rs rujukan, ketimbang heboh hebohan iuran BPJS. Menghadapi hidup berusaha sehat walaupun kekurangan atau kismin. Bisa enggak ya? Tapi paling enggak siap mental saja.

Menyikapi putusan MA, keputusan overall mesti adil, dengan mengembalikan semua kelas yang berubah ke kelas semula, juga membatalkan semua kelebihan bayaran dan kekurangan bayaran yang terjadi. Seperti saya, saya mestinya dikembalikan lagi ke kelas 1, dan saya mesti bayar tekor saya sejak saya turun kelas dari 1 ke 3, begitupun sebaliknya sampeyan yang udah bayar kenaikan dobel, harus dapat refund.

Apa yang dapat ditarik pelajaran dari kasus BPJS ini? Saya sendiri kurang begitu mengetahui detil kronologi kenaikan beban tekor BPJS hingga bertriliun. Lebih baik enggak usah dulu berpikir kesana. Namun kenaikan BPJS memang bukan kenaikan harga bahan pokok, dia sangat khas kerna menyangkut dekat dengan kefanaan raga. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline