Lihat ke Halaman Asli

Band

TERVERIFIKASI

Let There Be Love

Cerpen | Kopisianida

Diperbarui: 4 Februari 2020   22:14

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gambar oleh Foundry Co dari Pixabay

Jarum arlojiku menyentuh duabelas dan masih di tengah malam ku kayuh sepeda kopi ku yang masih sarat muatan saset instan. Sedikit gerimis jatuh melengkung merambahi wajahku. Tapi tak lah kuredakan kayuhan kedua roda berjeruji ini. 

Angin yang meyongsong lajuku dari depan membelai wajahku yang basah, menorehkan dingin kedalam pori. Sementara nafasku mulai memburu, menambah percepatan menuju rumah petak kontrakku. 

Gesekan basah aspal yang berkilat di kedua roda, terdengar berirama lebih lekas, membelah jalan pinggir kota minim suara menyiratkan sunyi. Masih cukup jarak tempuh buat ketujuan guna mengistirahatkan dagangan kopi keliling, hingga tiba ditikungan kuperlahan kedua roda membelok menjaga kecepatan. 

Pada jarak sedepa di lurus kereta anginku, kutatap bayang seorang gadis bersebelah tiang lampu merkuri bercahaya redup. Terlihat dia melambaikan tangan  kecilnya. Serta merta kulambat nyaris berhenti.

"Kopi, bang.." suara tipis perempuan terdengar lamat. Membuatku berhenti dan menepi penuh. Menatap seraut wajah tirus, profil jelas wanita kota. Berdandan resik dengan  fashion  mall. Sedikit ciut hati, ku buang pandang ke ruang jalan, hanya sesekali kendaraan menyorotkan sinar berlalu, selebihnya sudah sepi memang.

"Manis, ya Bang.." sambungnya lebih mendekat ke gerobak sepeda. "Auhgh, baik non. Siap," sedikit gregori kusiapkan bubuk harum hitam dan ku seduhkan air termos kedalam gelas plastik yang secepat pula kepulan uapnya memutihkan bibir gelas. Kutambahkan putih gula dan mengudeknya, lalu kusampaikan ketangannya. Dia menerimanya tanpa suara lalu menciutkan bibir merahnya meniup asap panasnya dan menyeruput  perlahan sampai nikmat tertampak. 

Beberapa teguk berlalu, dia menyorongkan lipatan limapuluh ribu. "Ini bang, ambil aja kembalinya.." suaranya renyah berhambur harum kopi. 

"Hah? Kebanyakan ini noni." sergahku. Dia hanya menggeleng sambil meneruskan teguk. "Terima kasih, noni," aku mengucap sambil beberes namun kepo, terasa kurang rela melewatkan perempuan muda seorang diri di dalam malam. 

"Sendirian Non?" aku beraninya bertanya. 

"Ah, enggak. Aku menunggu lelakiku.." balasnya dingin suara. 

"Augh.. kalo gitu saya permisi.." balasku sembari menyurung setang kemudi. Tapi dia hanya diam, kecuali matanya nanar menatap keberangkatanku.  Satu dua ku toleh diantara laju menjauh, hingga meninggalkan si noni berupa siluet buram dibawah sinar merkuri yang kurang.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline