Pemilu itu ibarat langit yang menaungi hak asasi rakyat membentuk system demokrasi untuk memilih wakil wakil rakyat. Penjaga langit itu adalah KPU dan Bawaslu, celakalah ketika sang penjaga langit demokrasi yaitu bapak Wahyu Setiawan (WSE) sebagai komisioner KPU ditangkap KPK dalam suatu OTT untuk kasus dugaan suap penetapan politikus PDIP Harun Masiku menjadi anggota DPR RI 2019-2024 Pengganti Antar Waktu (PAW). Dan tiba tiba langit terasa runtuh, sulit dipercaya.
Mungkin kita terlena akan hiruk pikuk aturan aturan hukum yang hafal luar kepala, sebagai penjaga langit demokrasi, KPU terlihat lebih extrovert, sangat sibuk menjaga mekanisme hukum diluar. Tertampak sehabis OTT langsung KPU mendatangi KPK untuk konfirmasi, dilanjutkan kesibukan menyiapkan prosedur penggantian WSE, ditambah lagi dengan penampakkan surat tiga surat PDIP terkait PAW Nazarudin Kiemas yang meninggal.
Tidak cukuplah KPU meneriakkan soal keputusan yang selalu kolektif kolegial, ini sangat kurang, atau alasan yang very poor untuk menjelaskan hal yang telah terjadi. Tidak terlihat reaksi cepat tindakan internal dari KPU untuk segera membenahi penyebab internal yang memungkinkan hal ini terjadi, lalu segera mengambil countermeasure seperti pengetatan dan legalisasi aturan yang mungkin bersifat proteksi privasi komisioner yang barangkali terdapat bolong bolong atau unseen administration.
Dari detail schedule dan interaksi detil aktivitas masing masing komisioner harus terlihat transparan untuk masing masing komisioner lain. Pemilihan staf pendamping komisioner KPU juga harus melewati prosedur standar yang secure. Seperti Agsutinia Tio yang juga bareng OTT dengan WSE sebagai orang kepercayaan WSE. Agustinia sendiri yang juga mantan anggota bawaslu bisa memunculkan pertanyaan apakah oke seorang bekas pengawas menjadi bagian dari yang pernah diawasi? Mungkin buat level yang lebih umum atau tidak steril it is ok.
Belum lagi soal interaksi dengan personal luar. Apakah KPU punya standar baku untuk tata cara bertemu dengan seseorang? Apakah KPU punya filter untuk tidak sembarang menerima tamu atau kelompok di kantornya? Mungkin perlu lebih ekstrim lagi, misalnya komisioner KPU harus menggunakan kendaraan dinas lengkap dengan GPS.
Atau mungkin komisioner KPU harus berani di stigma sebagai weird people, orang tidak biasa, untuk menjaga pengaruh dari politik kita yang kuno, penuh manuver atau persekongkolan yang sudah menjadi trade mark perpolitikan dagang sapi atau tukar guling.
Ada yang menarik dari apa yang sampaikan mantan komisioner bapak Gumay, bahwa ada kemiripan skema untuk PAW Harun dan Mulan. Gumay juga seperti curhat bahwa partai menjadi sangat otoriter, oligarki yang merusak system demokrasi yang sedang berjalan.
Barangkali sudah menjadi rahasia umum bahwa perilaku politik dengan modus ini yang mungkin tak ada habisnya sampai mungkin milenial sempurna. Sama halnya dengan masalah korupsi yang tak pernah selesai. Tak banyak gunanya menyalahkan keadaan politik primitif, sampe tua juga sulit untuk berharap politik demokrasi.
Jadi tak ada jalan lain, selain perangkat hukum yang menjadi pegangan, KPU juga harus dilengkapi dengan integritas antar anggotanya menjadi musketeers, all for one and one for all. Mengingat cukup lengkapnya benteng hukum pegangan KPU, maka diperlukan aturan aturan rinci yang mengikat untuk privasi komisioner KPU, agar bisa cepat terdeteksi adanya godaan suap jauh sebelum terjadi.
Kalo mungkin komisioner KPU dilengkapi alat perekam di badannya untuk menghadapi hal hal yang mustahil atau hil hil yang mustahal. Karena itulah perlu dipikirkan untuk syarat menjadi komisioner KPU harus steril seperti komisioner KPK. Bisa juga dipilih orang setengah dewa. tapi apa ada yak?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H