Hari 4 Nov 2019, Mantan Dirut PLN Sofyan Basir divonis bebas
Orang ketiga yang mendobrak kebebasan dari kebebasan KPK yang telah memiliki stigma tak seorangpun terdakwa lolos dari cengkeram KPK.
Akankah menjadi suatu isyarat bahwa KPK mencapai titik jenuh dan monoton? Ataukah selaras dengan pesan Jokowi kepada para menterinya, jangan terjebak pada rutinitas yang monoton?
Operasi Tangkap Tangan (OTT) yang tidak ada habisnya dengan perolehan sita value yang relatif sedikit yang menyisir eksekutif dan legislatif. Semakin lama menjadi terlalu biasa sehingga boring. Kasus besar seperti century yang tidak terungkap bertahun, mau gak mau menjadikan muara preferensi dari OTT yang masif dengan konpersnya yang komplit dilengkapi atraksi pameran bukti gepokan uang yang menyayat hati.
Apakah KPK sudah uzur kontra CSI (Criminal Scientific Investigation), dan KPK lalu ketinggalan jaman. Memang pembuktian adalah jantungnya KPK, harus kerja keras, berani, update dan pintar. Tidak boleh nyengir, cengeng, mengeluh dan menggantungkan harapan kepada gerakan gerakan yang terjadi diluar struktur seperti save KPK. KPK harus menjadi lelaki sejati tak takut mati. Meski langit runtuh, KPK pantang mundur. KPK harus mematok jati diri tinggi, tanpa oleng akan pelemahan atau penguatan sekalipun, dari kekuatan eksternal.
OTT memang okeh saja, tapi terus diikuti OTT OTT yang baru lagi. Tidak ada investigasi yang canggih dan berani untuk menemukan root cause dari suatu OTT, yang mungkin bisa bermuara pada suatu kegiatan malapraktek partai politik. OTT memang keren, tapi kalo itu melulu? Come on KPK, sebegitu sajakah you punya kemampuan. Jangan sampai KPK kuat karena hanya karena OTT, bebas nyadap atau gerakan moral save KPK.
Sebagai test case pada kasus PLN ini. Setelah menjerat Idrus, Eni dan Kotjo, agak heran OTT berlanjut dengan konsentrasi set back, mundur, mengarah kepada dirut PLN, bukannya rise up dengan investigasi penggunaan uang terhadap kemungkinan penyimpangan money politik. Sudah itu tumbang pula di pengadilan.
Apakah ini membuktikan bahwa untuk kasus down stream dari sebuah OTT yang notabene menjadi sulit dibuktikan tanpa bukti fisik/uang, KPK seperti nggak jago, atau inferior. Sedang direct OTT dengan bukti kongkrit, KPK terlihat begitu superior, jadi apakah mungkin ini semacam jalan mudah untuk menjaga marwah KPK? Mengingat exception penyadapan yang dimiliki KPK.
Mestinya gak begini banget lah, misalnya dengan revisi UU KPK penyadapan dikunci, harusnya KPK tetap jantan dan percaya diri bisa menangkap maling maling duit rakyat itu. Dari investigasi suatu mal administrasi dan merekrut law post graduate yang jenius, akan membikin KPK ditakuti bukan karena extraordinary facility tapi karena extraordinary scientific law. Nggak perlu melakukan tangkap tangan banyak banyak sampai menyebar keseluruh negara, nggak akan ada habisnya, selama source nya untouchable.
Seleksi kasus besar dan investigasi akar penyebabnya lalu tuntaskan hingga ke sumbernya. Ini akan lebih mencerminkan kehebatan KPK, membuka mata rakyat dan tidak saja menakutkan koruptor tapi mengerikan buat aktor intelektualnya. Mungkin tindakan ini lebih efektif menjerakan pelaku korup daripada OTT yang terus baru dan tiada henti.
Contoh yang baik pula, pada kasus yang lagi rame ini, rencana anggaran lem aibon 82 miliar. Untuk pencegahan korupsi, KPK harus keluar kandang. Dalam arti bukan hanya melulu presentasi ke birokrasi atau BUMN, yang mana mereka mungkin udah lebih lihai.