A new hope adalah tulisan penegas dari kover majalah Time edisi 27 Oktober 2014, bersampul wajah presiden terpilih Joko Widodo. Harapan baru bagi Indonesia. Seorang pengusaha mebel yang lempeng yang selalu membuat orang orang khawatir dengan jurus blusukan.
Ngomong ngomong soal harapan, betulkah ada harapan baru? A new hope? Apa itu harapan? "Hope" is the thing with feathers, tulis puisi Emily Dickinson. Dia tinggal didalam jiwa, dan bernyanyi tiada henti tanpa kata. Suaranya selalu ada, kencang ketika cerah dan lirih dikala badai.
Lalu apakah harapan sekarang masih kuat seperti lima tahun lalu? Atau semakin lirih? Atau lirih tetapi kembali menguat? Atau malah lebih lirih lagi?
Banyak ukuran harapan dari sepak terjang seorang Jokowi apalagi di ujung usia pemerintahan yang banyak di publis dan dianalisis. Yang dari keseluruhan level kepuasan di keseluruhan rentang masa pemerintahannya di sekor 58,8%. Kenapa tidak seratus persen? Entahlah, apakah harapan bisa diukur? Tapi biar saja harapan mengukur dirinya sendiri seiring keadaan.
Seorang Jokowi yang dikenal sejak penguasa kota Solo lalu melompat ke nomer satu DKI Jakarta. Dia bak tukang sulap, merubah kota dan ibulota dengan cepat seperti membalik tangan. Seorang yang memiliki Midas Touch. Berduet dengan Ahok mendobrak dan menjahit Jakarta, seperti Batman dan Robin.
The Dark Knight, pangeran yang blusukan kedalam kelam untuk membasmi kegelapan. Atau seperti Bandung Bondowoso membangun Prambanan sebelum jago kukuruyuk. Jokowi hampir jadi legenda Solo dan ibukota, seperti Ali Sadikin, jika saja tidak terjun ke politik kekuasaan tertinggi pemerintahan. Dan ternyata inilah lakon sesungguhnya. Welcome to the jungle, DKI ternyata bukan Indonesia kecil.
Sepersekian detik sehabis dilantik 2014, serta merta stigma telah tersemat. Jokowi yang sebagian hatinya hardrocker mulai masuk kealam grunge seperti Kurt Cobain, yang seumur hidupnya berperang melawan ilusi.
Kesuksesan superiority di daerah ternyata tidak bisa di berlakukan seseorang yang menjabat presiden. Yang adalah omong kosong bahwa kurikulum sebagai gubernur berarti applied untuk menjadi seorang presiden. Tidak semudah itu Ferguso!
People power kontra party power yang seharusnya kongruen, ternyata anomaly dan begitu menyita energy kekuasaan, sehingga superhero di daerah bisa berubah seratus delapan puluh derajat, menjadi pahlawan kesiangan di skala kekuasaan nasional nomer satu.
Jokowi tidak bisa langsung menggebuk ke sasaran kerna begitu banyak mata rantai yang membelenggu terlebih koalisi dan superpower petinggi partai. Kegaduhan kegaduhan yang menekan ekonomi dan disintegrasi yang terus saja menghantui stabilitas politik, tidak bisa dihadapi secara clean kesatuan pandang politik NKRI.
Orang orang hebat yang mengisi cabinet mentri, hanya menjadi negri dongeng ketika record capaiannya meroket tapi tidak terasakan implikasinya ke rakyat bawah. Mungkin terlalu banyak makan waktu sinkronisasi dibanding kerja sehingga kurang efisien, dan tidak terasakan perbedaan kehidupan dengan lima tahun kebelakang, alias berjalan ditempat.