"Kenapa sekarang sastra kamu plin plan say?"
Aku terperanjat istriku bertutur menohok, padahal dia lagi kontemplasi pada struktur patung gaweannya. Aku setop menusuk tuts kibor lap. Menatapnya, namun istri ayu itu enggak menoleh sesudutpun.
"Itu vulgar sayang" aku bangkit dan melekat.
"Sori" dia bergeming menyemen statunya.
"Pematung cantik"
"Oke pujangga."
"Aku plin plan?"
"Hmm.."
"Itu resen pasion sayang. Soal sastra politik maksud aku. Dan itu nyata." Aku memepet di parasnya, memaksa menolehkan hidung bangirnya.
"Kamu berubah dan itu membingungkan. Selama ini kotak sastramu selalu jernih, namun masa pemilihan kali ini menyetir paragraph mu seperti enggak ada filter. Tulisan mu keruh sayang. Sepertinya perlu tawas mungkin detoks". Perempuan sehati itu protes.