Lihat ke Halaman Asli

Band

TERVERIFIKASI

Let There Be Love

Saat Ajax Tersingkir, Final pun Kehilangan Warna

Diperbarui: 10 Mei 2019   17:36

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Foto UEFA

Setelah jagoan Eredivisie Ajax tumbang, maka all English final tak terelakkan. Apakah akan menarik? Saya pikir enggak. Champion League Final kali ini akan sama saja menonton EPL. Setiap terjadi final sesama negara, jadi udah males duluan untuk nonton, apalagi membahasnya.

Tangisan Amsterdamers begitu menyayat sampai saat ini, betapa tidak, hanya ada dua keindahan sejati dunia sepak kaki ini, yaitu jogo bonito Brasil dan total football Belanda. Penikmat  soccer jadi kehilangan momentum memaknai kembali bola sepak sebagai tontonan yang artistik, tidak semata tik tak atau tendang dan buru, ketika Ajax terjungkal.

Persis seperti piala dunia 1974, Belanda anyar dengan total football menggiling raksasa menuju final, namun shut down ditangan pasukan Backenbauer.  Similar dengan Champion League kali ini, Ajax juga membunuh jago dunia Real Madrid dan Juventus untuk menuju puncak keindahannya. Namun keindahan memang tidak selalu berkorelasi dengan juara, jadi ya udah. Kalem aja.

Hadir di kasta Champion kali ini, sepak bola Ajax, menyiratkan legenda yang terasa berbeda dengan Champion League tanpa mereka. Mereka berbeda. Dengan sepakbola menyerang yang begitu cair disertai pergerakan interchange pemain yang hanya dipahami mereka sendiri, menjadikan tontonan yang tidak membosankan. Pemanfaatan seluas luasnya pitch lapangan adalah keandalan Ajax. Bermain dengan margin tipis baik dalam man marking atau space terbatas pinggir garis lapangan, menjadikan seni feet skill yang menyenangkan. 

Meeneur Erik Ten Hag, sangat tau bahwa Ajax bisa dibawa bermain apa saja apakah man oriented atau tactical blocking, atau kombinasinya. Beneran nih!

Frenkie de Jong yang mahir mencipta overload penyerang lawan dengan 3v2, yang kemudian  untuk menyorong salah satu center backnya  langsung menyerang kelini depan. Belum lagi sebagai bos poros 3 gelandang, dia sendiri, Lasse Schone dan Danny van de Beek, menjadikan setiap gelandang sebagai pivot dari triangle dalam,  dari skema square atau segilima serangan dari full back dan wingernya. Mengalir dan berjalan cepat. Tak pernah ada set back, atau draw back, bola selalu maju kedepan seperti ombak laut.

Formasi 4-3-3 yang tidak rigid menjadi liquid saat menyerang dengan perubahan formasi merupa 3-3-1-3. De Jong mundur, Schone naik sejajar full-back dan van de Beek menjadi pusat serang ketiga forward Ziyech, Tadic dan Dolberg. Hakim Ziyech yang mobile selalu membuat overload centerback lawan, bisa bergantian dengan Dusan Tadic yang menjadi false nine, sementara Kasper Dolberg striker yang masif selalu powerful menerkam kesempatan.

Pergeseran luasan serang Ajax begitu cepat berpindah pindah sehingga mencipta channel ruang kosong yang bisa dimanfaatkan di garis batas pertahanan lawan.

Begitu pula ketika bertahan, Ajax selalu memulai dari ketinggian pitch, menjelma bentuk ke 4-2-1-3. Tadic akan berada ditengah center-back lawan, sementara kedua sayap turun siap memotong line center dan full back lawan yang mulai menyerang. Van de Beek berada dibelakangnya, di center untuk memastikan aliran bola ke Tadic saat mendapat bola. Dizona lebih dalam empat back terformasi untuk menutup area tengah dan sayap. 

Saat pressure di zona mendekat kotak penalty Ajax tak menolak membuka gawang dengan Onana sebagai pemotong  umpan diagonal fullback lawan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline