Pasangan suami istri (Pasutri) Slamet Riyanto (45) dan Munjiati (27) warga Dusun Senggrong RT 9 RW 4, Desa Terban, Kecamatan Pabelan, Kabupaten Semarang merupakan penyandang tunanetra sejak lahir. Kendati begitu, mereka berdua pantang meminta - minta (mengemis) , padahal statusnya layak disebut sebagai duafa. Seperti apa kehidupannya, berikut catatannya untuk Indonesia.
Keberadaan Pasutri malang tersebut, awalnya terdeteksi oleh personil Relawan Lintas Komunitas (Relintas) Kota Salatiga. Di mana, ketika tengah menjajakan satu lidi dan sapu ijuk, mereka berdua sempat ditanya tempat tinggalnya. " Mereka mengaku tinggal jadi satu dengan orang tua Munjiati di Desa Terban," kata seorang relawan.
Begitu mendapat laporan tentang keberadaan Pasutri tunanetra yang saban hari berdagang sapu keliling ke berbagai kampung, Bambang Setyawan selaku penanggungjawab Relintas segera memutuskan menyambanginya. Sayang, saat itu Slamet mau pun istrinya tengah berdagang sehingga tak bertemu. " Mas Slamet dan istrinya jam segini masih berjualan keliling," kata adik kandung Munjiati yang bernama Karmini (24).
Menurut Karmini, sebenarnya kakaknya ingin memiliki rumah sendiri, karena oleh ayahnya sudah diberi bagian tanah yang terletak di belakang rumah. Sayang, akibat faktor ekonomi, impian tersebut sulit terkabul. " Jadi ya sementara tinggal bersama orang tua, entah sampai kapan," ungkapnya.
Karena cukup lama ditunggu Slamet tak juga pulang, sementara cuaca semakin mengkhawatirkan, akhirnya Bambang Setyawan yang biasa disapa Bamset berpamitan dan berjanji akan datang kembali. " Entah besok atau lusa, saya pasti kembali ke sini," jelas Bamset.
Pantang Mengemis
Dua hari kemudian, Bamset dikawal empat relawan kembali menyambangi kediaman mertua Slamet yang bernama Muniri (60). Kebetulan, Slamet dan istrinya tengah bersiap akan berdagang. Melihat kedatangan relawan, Slamet mengaku sangat gembira. " Baru kali ini kami kedatangan tamu dari jauh (Kota Salatiga ), jujur kami sangat senang," ujar Slamet ditemani istri serta Karmi (57) ibu mertuanya.
Diungkapkan oleh Slamet, saban hari, ia bersama istrinya berdagang sapu ijuk dan sapu lidi. Barang dagangan itu diambil dari seorang kerabat. Menggunakan sistem bagi hasil, dirinya menjual Rp 20.000 perbatang. " Saya mendapat bagian Rp 10.000 , sisanya untuk pemilik dagangan," ungkapnya.
Dengan membawa barang dagangan sebanyak 20 batang sapu, bila nasibnya beruntung, ia sehari bisa mengantongi Rp 50.000 sampai Rp 100.000. Tapi , di musim penghujan, kadang hanya mampu membawa pulang Rp 20.000 karena waktunya habis untuk berteduh.
Untuk menuju Kota Salatiga, Slamet dan istrinya berjalan kaki dulu menuju jalan raya yang dilewati angkutan. Jauhnya, sekitar 3 kilo meter, maklum, rumah mertuanya memang terbilang pelosok. Setelah menumpang angkutan plat hitam, mereka berdua menyusuri perkampungan guna mencari pembeli. " Kadang kalau tak laku, ya nombok bayar angkutan pulang pergi," tuturnya.
Saat berbincang, Slamet secara terus terang mengakui, kendati dirinya dan istrinya penyandang tunanetra, namun, prinsipnya pantang meminta -- minta (mengemis). Apa pun yang terjadi, mereka bertekad mencari nafkah untuk membesarkan putri semata wayangnya yang bernama Misya Putri Febriani (2,5). " Meski ada tunanetra kerjanya mengemis dengan penghasilan besar, kami tidak tertarik mengikuti jejaknya," tandasnya.