Agus Widodo, pemuda difabel berumur 27 tahun warga Dusun Bulu RT 4 RW 4 Desa Dadap Ayam, Kecamatan Suruh, Kabupaten Semarang layak diapresiasi. Tak pernah mengenyam pendidikan formal, namun, ia mampu menjadi pribadi yang tangguh serta mandiri. Seperti apa perjuangannya agar bisa hidup sejajar dengan anak muda lainnya, berikut catatannya.
Terlahir sebagai anak bungsu dari lima bersaudara, sejak kecil Agus telah kenyang dengan penderitaan. Putra pasangan alm Jamal dan Miyati (70) ini mengalami kelainan pada dua kakinya, sehingga tak mampu tumbuh seperti anak- anak pada umumnya. " Umur dua tahun, jangankan berjalan , untuk duduk saja tidak mampu," kata Miyati, Jumat (22/6) sore ketika ditemui di rumahnya.
Karena mendeteksi adanya kelainan pada diri putranya, Miyati mau pun alm suaminya berupaya mengobatinya dengan berbagai cara tradisional. Maklum, mereka berdua tinggal di pelosok Kabupaten Semarang yang saat itu, segala bentuk akses sangat terbatas. " Asal ada yang memberitahu keberadaan orang 'pintas', kami pasti segera membawa Agus ke sana," ungkapnya.
Hingga usia Agus memasuki angka 5, Miyati baru menyadari bahwa anak laki- laki satu- satunya itu telah mengalami kelumpuhan. Pasalnya, bentuk dua kakinya tak mengalami perkembangan seperti organ tubuh lainnya. Ia hanya mampu merangkak, bila bepergian agak jauh harus digendong. " Inilah yang menyebabkan Agus tidak pernah merasakan bangku sekolah," jelas Miyati.
Satu- satunya Sekolah Dasar (SD) terdekat, lanjut Miyati, berjarak sekitar 1,5 kilometer dari rumahnya. Kalau saban hari harus menggendong pulang pergi, suaminya mau pun Miyati sendiri angkat tangan. Sebab, sebagai petani, waktu yang mereka miliki banyak tersita di sawah. Akhirnya, keputusan diambil, Agus tidak disekolahkan.
Seiring dengan berjalannya tahun, Agus Widodo pun mulai beranjak remaja. Melihat tiap malam kakak- kakak perempuannya belajar, ia mulai memperhatikannya. Dirinya ngotot minta diajari cara membaca dan menulis, tentunya hal itu dianggap merecoki jam belajar kakaknya. Karena, mereka sama sekali tak mempunya bekal selaku seorang pendidik (guru).
Kendati tertatih, Agus tak patah semangat. Secara perlahan, huruf demi huruf mulai dikenalnya. Ia mencoba merangkainya membentuk kata dan selanjutnya diubah menjadi kalimat. Hasilnya, luar biasa !. Tanpa disadari, dirinya mampu baca tulis. " Saya sendiri juga heran, tiba- tiba bisa membaca buku," kata Agus.
Adanya keajaiban ini, tidak disia- siakan oleh Agus. Beragam buku sengaja ia baca meski terkadang tak mengetahui artinya. Yang penting, baginya mampu menjadi orang yang melek huruf harus disyukuri. Karena, seumur hidupnya belum pernah diajar oleh seorang guru mana pun.
24 Tahun Merangkak
Dalam perjalanannya, kendati bukan orang buta huruf, namun hidup keseharian Agus sangat mengenaskan. Untuk berinteraksi dengan temannya atau tetangganya, ia harus merangkak. Mengandalkan kekuatan dua tangannya, dirinya mencoba bersosialisasi. Akibatnya, pemuda itu kerap diejek anak- anak kecil. " Anak- anak berumur lima tahunan sering meledek. Mereka menyebut saya anak muda yang berjalan kaki saja tidak becus," ungkapnya.
Ya, kedua lutut Agus memang sangat lemah. Jangankan untuk berjalan, guna menopang berdiri saja tak mampu. Akhirnya, ia tumbuh menjadi pemuda lumpuh (difabel) yang ke mana- mana harus merangkak. " Ke hutan yang jaraknya sekitar satu kilo meter pun, saya juga merangkak. Biasanya, celana di bagian lutut nantinya sobek- sobek," tuturnya sembari tertawa.