Sedikitnya 600 awak angkutan kota (Angkota) Salatiga yang biasa menjalankan 423 armada, terhitung mulai Senin (21/8) menggelar aksi mogok selama tiga hari. Mereka menentang keberadaan ojek berbasis aplikasi atau lazim disebut Gojek. Seperti apa jalannya unjuk rasa di kota paling toleran versi Setara Institute itu, berikut catatannya.
Beroperasinya Gojek di Kota Salatiga selama satu bulan terakhir, sepertinya membuat para awak Angkota meradang. Kendati jumlah unit ojek modern tersebut masih relatif sedikit, tetapi mereka dianggap sebagai biang keladi turunnya omzet pengemudi angkutan umum tersebut. Karenanya, Rabu (26/7) lalu, ratusan awak yang tergabung dalam Induk Paguyuban Angkota Salatiga (IPAS) bersatu padu menggelar aksi mogok setengah hari
Dalam aksi yang melibatkan ratusan awak, kendaraan angkutan umum berwarna biru muda diparkir memenuhi Jalan Sukowati dan lapangan Pancasila. Sementara perwakilan mereka, menemui Wali Kota Salatiga Yulianto SE yang secara tegas melarang keberadaan Gojek di wilayahnya. Usai mendengar keputusan Yulianto, mereka langsung membubarkan diri serta kembali mengangkut penumpang di berbagai jurusan.
Larangan agar Gojek jangan dulu beroperasi di Kota Salatiga, rupanya belum memuaskan para awak Angkota. Mereka mencium gelagat adanya unit- unit Gojek yang tetap melayani penumpang kendati tanpa mengenakan atribut berupa jaket dan helm hijau. Maklum, dilihat dari aplikasi android, relatif mudah dideteksi, sehingga pengurus IPAS memutuskan kembali menggelar aksi mogok serupa.
Sejak pukul 08.00, secara serentak ratusan Angkota sudah tak terlihat lagi menyusuri jalanan. Mereka lebih memilih mengandangkan armadanya dan mengabaikan kesempatan mencari nafkah. Berdasarkan surat pemberitahuan yang dibuat IPAS, aksi akan dilakukan secara terus menerus selama 3 hari. Di mana, nantinya bakal berakhir Rabu (23/8) besok.
Ada pun materi tuntutan yang diajukan kepada Wali Kota Salatiga maupun Dinas terkait, yakni pelarangan secara permanen terhadap keberadaan Gojek di Kota Salatiga. Larangan tersebut merupakan harga mati dan tidak bisa ditawar lagi. Meski hal tersebut agak aneh, tetapi para awak Angkota tetap menyepakatinya.
Seperti galibnya suatu aksi mogok, implikasinya terjadi penumpukan penumpang di berbagai lokasi. Terlebih lagi, menjelang bubaran anak sekolah SMP maupun SMA. Keluhan atas terlantarnya siswa-siswi sekolah di siang bolong langsung memenuhi ruang media sosial. Mayoritas menyayangkan adanya mogok massal sehingga membuat anak-anak didera kesulitan saat pulang ke rumahnya masing- masing.
Kepedulian sosial
Melihat banyak anak sekolah yang terlantar, rupanya membangkitkan kepedulian sosial di kalangan masyarakat yang memiliki kendaraan roda empat. Rupanya, mereka ingin melegitimasi bahwa Salatiga memang layak disebut Kota Paling Toleran nomor 2 di Indonesia. Tanpa dikomando, mereka berjamaah mengeluarkan mobilnya masing-masing dan menempeli kacanya dengan tulisan Nebeng Gratis.
Para pemilik mobil yang mempunya latar belakang maupun status sosial berbeda, tanpa ragu beroperasi mengangkut penumpang tanpa memungut imbalan sepeser pun. Bukan hanya kendaraan-kendaraan pribadi yang terhitung masih berumur 1- 2 tahun, melainkan juga terdapat unit mobil keluaran tahun 80-an yang dikemudikan pria setengah baya hilir mudik mengantar jemput pelajar.
Memang, jajaran Pemerintahan Kota Salatiga sendiri menerjunkan armada baik berupa bus pelajar mau pun truk untuk mengantisipasi penumpukan penumpang. Namun, jumlah armada tetap kurang mencukupi, pasalnya anak sekolah yang membutuhkan angkutan jumlahnya ribuan orang. Nahkan, di lapangan juga terlihat truk milik Korem 073/Makutarama, Kodim 0714 serta Polres Salatiga.
Komunitas Elf Mania Cinta Indonesia (AMCI) yang merupakan kelompok pengemudi Isuzi Elf yang biasa melayani carteran, mulai kemarin menurunkan sedikitnya 15 armada yang mangkal di berbagai SMP. Menjelang sore hari, ketika pelajar SMA dan SMK akan pulang, mereka kembali beraksi. "Kami lakukan ini sebagai bentuk toleransi terhadap anak-anak sekolah," kata Yono Tembel, anggota AMCI.
Menurut Yono, ia bersama rekan- rekannya biasa menggelar aksi sosial dalam berbagai kegiatan. Kebetulan, mulai kemarin anggota AMCI melihat momen yang tepat, sehingga, atas seizin majikannya masing- masing, mereka langsung beraksi tanpa memungut imbalan sepeser pun. Aksi yang dilakukan AMCI ini pun segera memacu pemilik kendaraan lainnya, mereka ikut menyusuri jalan-jalan untuk mengantar siswa siswi pulang ke rumahnya.
Kepedulian sosial yang digelar secara spontanitas ini, sepertinya mematahkan persepsi bahwa mogok massal Angkota bakal melumpuhkan aktivitas warga Salatiga. Predikat Salatiga sebagai Kota Paling Toleran ternyata tetap terjaga dengan baik, perbedaan pendapat tak membuat masyarakat terbelah. Yang mogok massal silahkan diteruskan, aktivitas tetap berjalan. Bahkan, anak-anak sekolah sembari berseloroh menyebut, bila tidak ada unjuk rasa, mereka belum tentu bisa menikmati menumpang mobil berpendingin udara secara gratis.
Itulah sedikit catatan tentang aksi awak Angkota selama tiga hari berturut-turut, apakah tuntutan mereka bakal terkabul? Susah menebaknya, di era serba digital, sepertinya yang berbau konvensional akan tergilas jaman. Meski begitu, hak menyampaikan pendapat telah dijamin konstitusi. Jadi, ya silakan melakukannya, yang pasti, masyarakat juga berhak memilih. Ah! Salatiga memang beda. (*)