Kota Salatiga yang di zaman pemerintahan kolonial Belanda dianggap sebagai poros vital untuk mempertahankan kekuasaannya, ternyata memiliki tiga putra daerah yang berstatus sebagai pahlawan nasional. Sosok pahlawan tersebut terdiri atas Laksamana Muda Yosaphat Sudarso, Marsekal Madya Agustinus Adisucipto dan Brigadir Jendral (Brigjen) Sudiarto.
Para pahlawan yang biasa disebut Yos Sudarso, Adisucipto dan Sudiarto selain diabadikan sebagai nama jalan protokol, untuk menghormati jasanya juga dibuatkan monumen berikut patungnya di lapangan Pancasila, Kota Salatiga. Sayang, monumen yang dibangun tahun 1974 tersebut, kondisinya lumayan memperihatinkan. Selain bentuknya terlalu sederhana, bahkan layak disebut sangat ketinggalan jaman, juga tak ada keterangan tentang nama- nama pahlawan.
Tiga patung yang terdiri atas Brigjen Sudiarto,Laksamana Muda Yos Sudarso dan Marsekal Madya Adisucipto dibuat seukuran orang dewasa atau seperti aslinya dicat warna hijau, berlatar belakang tembok yang di atasnya terdapat lambang pemerintah kota Salatiga dan paling atas lambang burung garuda. Sedangkan bagian bawah terdapat tulisan Karya Sarana Mrih Raharja. Dipagar besi setinggi 1 meter, namun pintunya terbuka lebar sehingga orang bebas keluar masuk, termasuk saat kebelet buang air kecil.
Dulu, bagian bawah dekat fondasi merupakan tembok plesteran yang dipasang ubin abu- abu. Namun karena di kanan kiri monumen ditanam dua pohon peneduh, maka dalam perkembangannya akar pohon sukses mendongkel adonan semen. Sampai sekarang hal tersebut dibiarkan seakan pihak terkait ingin memperlihatkan sesuatu yang terkesan alami.
Di bagian belakang monumen, terdapat peta Kota Salatiga dan relief yang menggambarkan perjuangan jaman dulu. Untuk peta, sepertinya dibuat menyesuaikan batas wilayah Salatiga di tahun 70 an yang hanya terdiri atas 1 kecamatan alias 9 kelurahan. Sementara sekarang sudah memiliki 23 kelurahan serta 4 kecamatan. Kondisi peta mau pun relief sama- sama kusam, di bagian bawah (fondasi) terlihat retak- retak. Bahkan beberapa tegelnya terlepas.
Kondisi monumen pahlawan nasional kebanggaan warga Salatiga ini, jauh berbeda dengan patung lima kuda di halaman kantor DPRD Kota Salatiga. Baik dari segi kualitas, mau pun estetika layak disebut lebih memanusiakan kuda dibanding jasa pahlawan- pahlawannya. Di mana, lima patung kuda yang belum lama dibuat, terlihat mentereng karena tingginya mencapai sekitar 4 meteran.
Didominasi warna putih, kuda- kuda itu seakan melambangkan kekuatan dan semangat yang tiada kenal kosa kata berhenti. Siapa pun yang melihatnya pasti mampu mengenali bahwa patung- patung itu adalah seekor binatang, tapi bila ditanya apa relevansinya dengan Republik ini, maka orang bakal terbengong- bengong sulit menjawabnya. Mungkin, di zaman pemerintahan kolonial Belanda, kuda dianggap sangat berjasa sebagai penarik dokar.
Penghargaan dari Luar Salatiga
Bila merunut pembuatan monumen tiga pahlawan nasional di lapangan Pancasila di tahun 1974, kemungkinan besar saat APBD Kota Salatiga baru berkisar Rp 100 jutaan. Sekarang ini, setelah 43 tahun besar APBD sudah membengkak berlipat- lipat. Tahun 2016 lalu saja mencapai hampir Rp 1 triliun, namun, keberadaan patung produk orde baru sama sekali tak alami perubahan sedikit pun.
Padahal, seni patung telah mengalami kemajuan pesat. Bukan hanya dari bahan baku semen belaka, sekarang beragam bahan pembuatan patung seperti fiber, tembaga hingga bebatuan andesit banyak digunakan para seniman. Hasilnya, selain memiliki nilai artistik yang tinggi, juga terkesan lebih natural. Entah kenapa pemerintah kota Salatiga belum memikirkan monumen pengganti.
Tak bijak bila menyoroti keberadaan monumen tentang tiga pahlawan nasional asal salatiga tanpa mengupas bagaimana sepak terjang mereka dalam mempertahankan negara ini. Pasalnya, mereka bertiga sudah mengorbankan nyawanya demi terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia.