Ibadah Paskah bersama yang digelar di lapangan Pancasila atau di depan Masjid Raya Darul Amal Kota Salatiga, Minggu (16/4) sore berlangsung mulus. Kendati jemaat yang hadir tak sebanyak hajatan sebelumnya, namun, seluruh prosesi kebaktian relatif berjalan lancar.
Tak salah kiranya bila Setara Institute menobatkan Kota Salatiga sebagai kota paling toleran di Pulau Jawa, terbukti, aktifitas ibadah yang diselenggarakan oleh Badan Kerjasama Gereja Salatiga (BKGS) yang digelar saban tahun praktis selalu terealisasi tanpa hambatan apa pun. Bahkan, lapangan Pancasila yang mempunyai empat akses masuk, oleh jajaran kepolisian setempat tidak diblokir.
Di lapangan tempat berlangsungnya ibadaha, memang nampak puluhan personil kepolisian bergabung dengan Sat Gas salah satu partai politik dan aparat keamanan lainnya. Meski begitu, empat akses yang terdiri atas jalan Adi Sucipto, Sukowati, Brigjen Sudiarto dan Tentara Pelajar tidak terlihat dijaga petugas. Artinya, pihak Polres Salatiga yang telah melakukan analisa serta evaluasi menganggap tak ada potensi gangguan keamanan.
Dalam prosesi ibadah Paskah sendiri, pihak panitia sengaja membalut acara dengan nuansa Jawa. Di mana, selain mengusung thema Durjana Kang Manggih Kamulyan (Penjahat yang memperoleh kemulyaan), musik yang dimanfaatkan untuk mengiringi lagu pujian sendiri terdapat seperangkat gamelan. “ Selain untuk mengiringi ibadah Paskah yang nantinya ada kesenian ketoprak, nanti malam juga untuk mendukung pertunjukan wayang kulit,” kata salah satu panitia.
Sejak pk 14.30, ratusan umat Kristiani sudah terlihat berdatangan ke lapangan Pancasila. Sembari menunggu jemaat lainnya, terlihat di panggung beberapa anak muda memainkan berbagai alat musik sembari menyanyikan lagu- lagu rohani. Hingga selepas pk 15.00, ketika Masjid Raya mengumandangkan adzan Ashar, spontan alunan lagu pujian berhenti. Sungguh, toleransi yang penuh kedewasaan dan tak sekedar di mulut belaka.
Baru setelah kumandang adzan berakhir, aktifitas ibadah kembali dilanjutkan dengan beragam prosesi. Puluhan pendeta dan pastur, dalam kesempatan ini sempat bermain ketoprak sehingga mampu memberikan warna tersendiri. Seperti pada tahun- tahun sebelumnya, ibadah Paskah bersama, biasanya berakhir sekitar pk 17.45 atau menjelang kumandang adzan Maghrib. Usai mengikuti kebaktian, jemaat langsung kembali ke rumahnya masing- masing dan akan menggelar ibadah Natal di bulan Desember mendatang.
FPI dan Subuhan Berjamaah
Seperti diketahui, Kota Salatiga mempunyai populasi penduduk beragama Islam mencapai 75 persen. Sedang sisanya merupakan pemeluk Kristen Protestan, Katholik, Hindu, Budha dan Konghucu. Kendati begitu, perbedaan beragama tak membuat kalangan minoritas tersingkir. Hal tersebut yang membuat Lembaga Setara Institute menobatkannya menjadi kota paling toleran kedua se-Indonesia.
Penduduk Salatiga yang berjumlah sekitar 190 ribu (data Pemilu Legislatif tahun 2014), memang unik. Keberadaan Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW), Institut Agama Islam Negeri (IAIN) dan beberapa perguruan tinggi lainnya, belakangan membuat kota kecil ini didiami oleh 23 suku. Kendati begitu, masyarakat yang menyatu sangat menjunjung tinggi pluralisme.
Konsekuensi menjadi kota pendidikan, maka ribuan mahasiswa dari berbagai penjuru tanah air sejak puluhan tahun lalu berdatangan. Lucunya, mereka merasa nyaman tinggal di kota kecil ini. Bahkan, tak sedikit yang memperoleh jodohnya di Salatiga. “Saya memang nyaman hidup di Salatiga,” kata Pdt Izak Lattu PhD dosen UKSW yang berasal dari Ambon.
Kembali ke prosesi ibadah Paskah bersama yang memang merupakan agenda rutin BKGS, beberapa jam sebelumnya di Masjid Raya Darul Amal juga digelar ibadah sholat Subuh berjamaah yang dihadiri oleh Habib Muhsin Alatas. Dalam aktifitas keagamaan yang diselenggarakan para pemuda Gerakan Nasional Pengawal Fatwa (GNPF) Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kota Salatiga tersebut, diusung semangat Gerakan Subuh Berjamaah (GSB).