Lihat ke Halaman Asli

Bambang Setyawan

TERVERIFIKASI

Bekerja sebagai buruh serabutan yang hidup bersahaja di Kota Salatiga

Geliat Kampung Konveksi yang Bertahan selama Enam Zaman Pemerintahan

Diperbarui: 21 September 2016   19:40

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gerbang kampung konveksi (foto: dok pri)

Di Republik ini ternyata masih bisa ditemukan celana pendek berbahan katun yang harganya cuma Rp 12.000,00. Tidak percaya? Datanglah ke kampung konveksi yang terletak di Kelurahan Tingkir Lor, Tingkir, Kota Salatiga. Di sini, hampir 90 persen warganya menggeluti dunia jahit-menjahit dan mematok harga jual paling murah sedunia.

Kampung konveksi di Tingkir Lor sudah dikenal oleh para pedagang pakaian berbagai kota di Indonesia sebagai sentra pembuatan pakaian murah meriah. Hasil produksi mereka sudah merambah Bandung, Jakarta, Yogyakarta, Bali, bahkan Kalimantan. “Kekuatan daya jual pakaian buatan kami terletak pada harga yang relatif murah dibanding pakaian produksi daerah lain,” kata Bu Nur (50) yang mengakui menggeluti bisnis konveksi sejak tahun 1988, Rabu (21/9) siang saat diajak berbincang.

Tiga celana pendek selutut Rp 45.000 (foto: dok pri)

Istilah murah yang dimaksud Bu Nur memang bukan bualan. Di rumahnya yang dijadikan lokasi produksi sekaligus tempat memajang berbagai pakaian, ditemui celana pendek berbahan katun seharga Rp 12.000,00 per potong. Sementara pakaian gamis wanita hanya Rp75.000 - Rp 90.000 tergantung model mau pun bahannya. Untuk bed cover berkisar Rp 200.000,00 - Rp 330.000,00 (harga menyesuaikan ukuran). Pembelian jumlah banyak bakal memperoleh diskon khusus.

Menurut Bu Nur, beragam pakaian yang diproduksinya biasa diambil pedagang asal Surabaya yang selanjutnya dijual ke Madura maupun Bali. Mereka datang seminggu sekali. Selain memborong konveksi, juga mengambil pesanan sebelumnya. “Kami memang menerima pembuatan sprei, bed cover, dan pakaian laki-laki maupun perempuan,” ungkapnya.

Baju gamis wanita juga murah meriah (foto: dok pri)

Kendati hasil produksi konveksinya memiliki harga jual yang murah, Bu Nur mengklaim bahwa semua barang yang dibuat mempunyai kualitas tidak murahan. Sebab, harga murah yang didapat melalui proses cukup rumit. Di antaranya ketersediaan stok bahan baku langsung dari pabrik dan biaya menjahit yang mampu ditekan karena mayoritas penjahitnya adalah warga setempat.

Untuk menebus perbincangan singkat mengenai seluk-beluk konveksi yang dikelolanya, akhirnya saya mengambil tiga potong celana pendek selutut. Harganya, Rp 45.000,00 atau sepotongnya cuma Rp 15.000,00. Lumayan, bisa untuk tidur karena berbahan katun sehingga terasa adem di kulit. Padahal, kalau di toko pakaian, paling murah celana pendek sejenis mencapai Rp 30.000,00.

Apa yang disampaikan Bu Nur, belakangan juga dibenarkan oleh Bu Nurmah (55) pemilik konveksi Shafira. Ia yang mulai menggeluti pakaian jadi sejak 1987, mengakui bahwa konveksi menjadi tiang penyangga ekonomi masyarakat di Kelurahan Tingkir Lor. “Padahal, ketika usaha ini dimulai di tahun 1987, warga yang terlibat hanya 12 orang,” tuturnya.

Tumpukan bahan baku tergeletak di lantai (foto: dok pri)

Bertahan Enam Zaman

Perkampungan konveksi, kata bu Nurmah, dimulai tahun 1987. Di mana, PT Damatex, salah satu perusahaan tekstil terbesar di Kota Salatiga bersedia memberikan sisa kain produksinya kepada 13 warga Tingkir Lor. Warga yang diizinkan mengambil kain ke pabrik biasanya menjual dalam bentuk kiloan. Sembari menunggu pelanggan, beberapa orang mulai mencoba membuat celana kolor, rok, maupun baju.

Ternyata, pakaian yang dibuat itu direspons positif oleh pasar. Mulailah bermunculan konveksi skala kecil di perkampungan Tingkir Lor atau biasa disebut Kampung Cengek. Secara perlahan namun pasti, aktivitas konveksi berkembang tak hanya sebatas membuat celana kolor. Beragam pakaian mulai diproduksi, termasuk sprei maupun bed cover. “Karena di sini mayoritas warganya muslim, tentunya pembuatan mukena juga jadi prioritas,” ungkap Bu Nurmah.

Bu Nur

Seiring dengan perjalanan waktu, warga yang sebelumnya ikut bekerja di salah satu konveksi mulai memisahkan diri dan mendirikan konveksi skala rumahan. Hingga sekarang, hampir 90 persen warga Tingkir Lor bergerak di bidang jahit-menjahit. Tak heran bila kawasan ini dideklarasikan menjadi Desa Wisata meski sebenarnya bentuk pemerintahannya adalah kelurahan.
Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline