Lihat ke Halaman Asli

Bambang Setyawan

TERVERIFIKASI

Bekerja sebagai buruh serabutan yang hidup bersahaja di Kota Salatiga

Andai Indonesia Seperti Kota Salatiga

Diperbarui: 25 Agustus 2016   18:01

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Umat Muslim gelar sholat Ied di lapangan Panca Sila (foto: dok pri)

Kota Salatiga hanyalah sebuah kota kecil yang terletak di tengah- tengah antara Kota Semarang dengan Surakarta, kendati begitu, Setara Institute menobatkannya sebagai kota paling toleran se pulau Jawa. Bagaimana warganya dalam menjaga kerukunan beragama di tengah era teknologi yang sedemikian pesat ? Berikut gambarannya.

Beragam teori tentang kerukunan umat beragama mungkin setiap saat bisa dibaca di diktat tebal, kendati begitu, bagi masyarakat Kota Salatiga, mereka sudah belajar secara otodidak mengenai pentingnya merawat perdamaian antar suku, ras, agama dan antar golongan (SARA). Di mulai sejak Republik ini berdiri, yang namanya perbedaan keyakinan telah ada. Hebatnya, tak ada individu yang merasa terusik.

Ketika Tolikara, Papua, Aceh Singkil, Aceh hingga Tanjung Balai, Sumetera Utara digoyang kerusuhan berlatarkan sentimen agama, maka orang langsung menengok Salatiga. Kota yang dihuni sekitar 190.000 jiwa dengan populasi agama Islam 75 persen, namun, kedewasaan cara berfikir masyarakatnya layak diacungi jempol. Provokasi bukannya tidak pernah ada, bahkan, setiap terjadi gesekan, para provokator selalu bergentayangan menggunakan segala cara.

Sedahsyat apa pun provokasi yang dilakukan, hanya ditanggapi secara dingin dan cerdas. Masyarakat yang merasa pada posisi mayoritas tak terpancing sedikit pun, begitu pula golongan minoritas, sama sekali tidak terintimidasi. Setiap persoalan yang muncul akibat keyakinan, Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) yang dipimpin KH Drs Tamam Qulany selalu mampu meredamnya. Bila situasi menghangat, maka jajaran Polres Salatiga sigap mengambil alih.

Di lapangan yang sama umat Nasrani gelar kebaktian bersama (foto; dok pri)

Berulangkali masyarakat Salatiga diuji oleh beberapa kejadian yang menyangkut hal- hal berbau SARA, sayangnya, pihak- pihak yang ingin membuat keruh dengan menebar provokasi harus menelan kekecewaan. Pasalnya, segala upayanya sia- sia alias diabaikan. Perhitungan untuk membenturkan antar umat, ternyata selalu nihil. Padahal, kota ini berdiam 23 suku yang tentunya memiliki beragam karakter.

Di Salatiga, ada ritual rutin tahunan yang digelar oleh umat Muslim dan Nasrani. Di mana, setiap hari raya Idhul Fitri serta hari raya Idhul Adha, warga yang beragama Islam menggelar sholat Ied di lapangan Panca Sila. Sebaliknya, di hari Paskah mau pun Natal, gantian pemeluk agama Nasrani melaksanakan kebaktian bersama di lapangan yang sama. Kebaktian yang sudah dimulai sejak tahun 1970 tersebut, praktis belum pernah menimbulkan persoalan. Padahal, kebaktian berlangsung di depan Masjid Raya Darul Amal yang satu kompleks dengan IAIN.

Provokasi di Media Sosial

Konsekuensi banyaknya perguruan tinggi di Salatiga, tak urung membuat masyarakat di kota ini jadi melek terhadap media sosial (Medsos). Ibarat pisau nan tajam, maka warga tetap bijak memanfaatkannya. Mereka enggan menggunakannya untuk menusuk golongan lain yang berbeda pendapat. Kendati begitu, terkadang muncul akun- akun palsu yang sengaja dibuat guna menebar provokasi.

Jauh sebelum Sadiq Khan seorang warga Muslim di London terpilih sebagai Walikota di tengah masyarakat yang mayoritas non Muslim, Salatiga sudah lebih dulu memiliki seorang Walikota beragama Nasrani. Sosok tersebut bernama John Manuel Manoppo SH yang mengakhiri jabatannya di tahun 2011 lalu. Meski menjadi kelompok minoritas, dirinya memimpin hingga akhir jabatan tanpa direcoki soal agama.

Ketika John , pernah mendapat tekanan dari umat Muslim agar membagi lahan negara di kawasan Salib Putih, Kumpulrejo, Argomulyo yang dikuasai yayasan Kristen. Hampir 10.000 orang, sempat melakukan aksi besar- besaran. Mereka menggelar long march sejauh 1kilo meter, hasilnya, kendati permintaannya sulit dipenuhi, namun tak ada satu pun genting yang pecah mau pun rumput yang tercabut.

Hal paling menyolok terjadi di bulan Agustus tahun 2015 lalu, di mana, Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan (YPKP) ‘ 65 pimpinan Bejo Untung akan menggelar pertemuan tingkat nasional di Gedung LP3S Sinode, Kota Salatiga. Tiga hari sebelum hajatan dimulai, di Medsos muncul foto bergambar bendera palu arit yang seolah- olah dipasang di salah satu jembatan yang ada di Salatiga. Provokasi ini, tujuannya untuk memancing masyarakat agar bertindak anarkhis. Sayang, hal tersebut mental adanya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline