Demi mendengar adanya perpustakaan gratis yang dirintis oleh seorang pegawai harian lepas (PHL) Pemerintah Kota Salatiga, saya langsung tergerak untuk bertandang ke lokasi. Ternyata, kendati hanya berjarak sekitar 10 kilometer, tempat tersebut berada di dusun yang terisolir. Berikut perjalanannya menuju Pustaka Cakruk Baca.
Sembari menenteng buku dan majalah bekas sumbangan Kompasianer Semarang dan sekitarnya berjumlah 30 eksemplar, Selasa (9/8) siang, saya meluncur ke Dusun Demangan, Desa Kadirejo, Pabelan, Kabupaten Semarang. Sehari sebelumnya, saya sudah menjalin kontak dengan inspirator Pustaka Cakruk Baca yang bernama Eko Sanyoto Nugroho (38). Prinsipnya, anak- anak di desanya sangat membutuhkan bacaan dalam bentuk apa pun.
“Desa Kadirejo bisa disebut cukup terisolir, pasalnya tidak ada angkutan umum yang melayani trayek ke desa kami. Padahal, anak- anak SD, SMP , SMA hingga warga sangat membutuhkan buku untuk dibaca. Kalau yang dibaca tidak ada, lantas bagaimana mereka mengerti dunia luar ?” ungkapnya melalui sambungan telepon.
Melewati sedikitnya tiga desa, akhirnya laju motor mulai memasuki Desa Kadirejo.Menjelang tiba di Dusun Demangan, maka, mata disuguhi pemandangan menarik. Jalanan aspal yang dibuat jaman orde baru, sudah tak terlihat lagi aspalnya. Sebagai gantinya, tinggal tumbukan batu makadam yang tidak teratur. Susah dibayangkan ketika hujan mengguyur dusun ini, mungkin bentuknya bakal mirip kubangan kerbau.
Seorang laki- laki berumur 60 an tahun, mengaku bernama Suwarno yang tengah mencari rumput, ketika ditanya perihal kondisi jalan mengatakan, aspal tersebut dibuat sekitar tahun 80 an. Setelah itu, tak pernah dilakukan perbaikan. “ Bahkan, pak Bupati Munjirin, seingat saya belum pernah datang ke dusun ini,” ujarnya serius.
Tak butuh waktu lama, di ujung dusun, terlihat sebuah gazebo sederhana berukuran 3 X 6 meter yang dibuat menggunakan kayu utuh dan beratap genting tanah. Nampak beberapa anak SD tengah menyimak buku tanpa menyadari kedatangan saya. Karena rumah Eko hanya berjarak sekitar 15 meter, maka saya segera mendatangi rumahnya. Usai menyerahkan bacaan yang yang ada di motor, kami terlibat perbincangan cukup asyik.
Ati Karep Bondo Cupet
Eko yang menjadi karyawan di Perpustaan Daerah Kota Salatiga sejak dua tahun lalu, statusnya masih PHL. Kendati begitu, ia memiliki keinginan besar, yakni mendirikan perpustakaan gratis di delapan dusun yang ada di Desa Kadirejo. “ Di sini, selain pesawat televisi, tidak ada hiburan lain. Kalau orang mengatakan di internet semua tersaji, hal itu tak terjadi di dusun ini. Pasalnya, sinyal internet sangat lemah,” tuturnya.
Untuk mencerdaskan anak- anak desa dengan fasilitas bacaan gratis, bagi Eko merupakan pekerjaan yang lumayan sulit. Maklum, gajinya sebagai karyawan honorer tidak seberapa. Kendati begitu, libido mewujutkan sebuah perpustakaan akhirnya terwujut. Menempati lahan milik orang tuanya yang berada di pertigaan dusun, didirikanlah gazebo sederhana. Seperti galibnya warga kampung, menjelang peresmian juga digelar doa selamatan.
Konsep Pustaka Cakruk Baca yang digagas Eko, sebenarnya tidak rumit. Gazebo yang dibuat secara terbuka, dilengkapi semacam rak untuk meletakkan buku- buku. Setiap orang yang melintas, boleh mampir dan membaca buku yang ada. Tak ada batasan usia, siapa pun yang sudah mampu baca tulis, bisa menyimak buku – buku tersebut. “ Usai baca, ya dikembalikan lagi ke tempatnya,” kata Eko.
Mengusung jargon “Pintar itu tidak mahal”, Eko berharap anak- anak di desanya mampu tumbuh menjadi generasi yang cerdas. Kendati buku- buku yang ia sediakan jumlahnya masih relatif sedikit, namun, dirinya merasa yakin nantinya akan muncul donatur buku yang mau menghibahkan koleksinya demi kepentingan Pustaka Cakruk Baca. “ Contohnya pak Bambang, begitu mengetahui adanya kegiatan ini langsung menghibahkan bacaan,” ujarnya.