Kendati saat ini sudah tidak difungsikan lagi, Stasiun Kereta Api Bedono, Jambu, Kabupaten Semarang yang tengah memasuki usia 143 tahun, ternyata tetap kokoh berdiri. Bahkan, tak ada perubahan yang berarti atas kondisi fisik bangunannya. Berikut adalah catatan blusukannya ketika hujan mengguyur bumi.
Bicara kereta api di Indonesia, tak bisa lepas dari keberadaan sebuah stasiun. Demikian pula dengan cikal bakal angkutan ular besi tersebut, tentunya tidak mungkin mengabaikan keberadaan pemerintahan kolonial Belanda yang agresif menggasak berbagai hasil bumi Nusantara. Melalui perusahaan kereta api yang bernama Nederlandsch Indisch Spoorweg Matscapij (NISM), mereka membuka jalur kereta api pertama di Kota Semarang.
Fungsi pembuatan jalur kereta api tersebut, sebenarnya bermotif kepentingan ekonomi di mana hasil bumi mampu diangkut langsung menuju Pelabuhan Semarang, selanjutnya dilempar ke pasar dunia. Prinsipnya, suka-suka pemerintahan kolonial. Padahal, berbagai produksi pertanian itu, sebenarnya merupakan buah kerja paksa kaum pribumi. Kendati begitu, siapa yang berani protes? Salah-salah nyawa bakal melayang.
Pembangunan jaringan rel pertama yang dimulai tahun 1867 di Semarang, akhirnya mulai merambah ke daerah-daerah lain. Pasalnya, selain kepentingan ekonomi, pihak pemerintahan kolonial Belanda juga menganggap angkutan kereta api lebih pas dimanfaatkan guna mengangkut personil militer dalam jumlah besar. Terkait hal itu, di kota maupun kabupaten yang berdekatan dengan Semarang segera dibuat jalur rel, termasuk Grobogan, Surakarta, Yogyakarta, Magelang dan tentunya Ambarawa.
Setelah Stasiun Ambarawa berhasil dibangun, secara bersamaan NIMS juga membangun beberapa stasiun pendukung. Salah satunya, yakni Stasiun Bedono yang menjadi pemberhentian antara Ambarawa-Magelang. Kenapa wilayah Kecamatan Jambu perlu didirikan sebuah stasiun? Jawabnya sederhana, kawasan Bedono merupakan dataran yang terletak 711 mdpl, di mana terdapat banyak perkebunan kopi.
Kopi yang menjadi komoditas ekspor pihak kolonial Belanda, perlu mendapat prioritas pengangkutan. Bila sebelumnya untuk mengangkutnya hanya memanfaatkan pedati, sifat rakus Belanda makin menjadi. Mereka menginginkan adanya sarana transportasi yang mampu membawa hasil bumi dalam jumlah besar. Tiada pilihan lain, kecuali kereta api. Celakanya, posisi Bedono berada di dataran tinggi sehingga susah bagi kereta api biasa menjangkaunya.
Lokomotif Bergerigi
Bukan NISM kalau hanya mengalami kesulitan pendakian tak mampu mengatasinya. Solusinya, perusahaan kereta api Belanda tersebut menggunakan lokomotif uap bergerigi. Implikasinya, rel pun dibuat secara khusus. Bila jalur kereta api biasanya hanya dua besi memanjang yang dibaut di atas bantalan kayu, untuk tanjakan Bedono, rel dibuat beda, yakni, bagian tengahnya terdapat besi-besi yang mampu dikait oleh gerigi lokomotif.
Paryoto (42) penjaga Stasiun Bedono yang merawat cagar budaya ini sendirian, menjelaskan untuk memuluskan transportasinya, NISM menggunakan lokomotif uap berbahan bakar kayu. Kayu-kayu yang dimanfaatkan memanaskan mesin, biasanya terdiri atas kayu jati. “Lokomotif yang digunakan bernomor seri B 2502, buatan Jerman,” ungkapnya.
Pria beranak dua yang berstatus sebagai karyawan harian PT Kereta Api Indonesia (KAI) itu menjelaskan, karena kayu bakar bersifat memanaskan ketel berisi air, biasanya saat kereta api tiba di Stasiun Bedono, harus kembali diisi air. Untuk itu, pihak NISM membangun bak air cukup besar yang terletak di samping rel kereta api. Sampai sekarang, bak air masih belum mengalami perubahan bentuk.
Hingga Belanda hengkang dari Indonesia, lanjut Paryoto, kereta api uap tetap menjalankan tugasnya menyisir rel hingga Magelang. Baru di tahun 1976, ketika sarana transportasi darat mulai marak di jalanan, operasional lokomotif uzur tersebut dihentikan karena kurangnya penumpang. “Tahun 2000-an dihidupkan lagi untuk mengangkut penumpang wisata yang didominasi turis luar negeri,” tuturnya.