Tak banyak yang tahu, bahwa Masjid Damarjati yang terletak di kampung Krajan, Jalan Damarjati, Salatiga, Sidorejo, Kota Salatiga ini merupakan tempat ibadah bagi umat Islam tertua di kota ini. Bangunan suci yang sudah berusia 190 tahun tersebut, hingga sekarang tetap berfungsi kendati lokasinya berhimpitan dengan rumah warga.
Bagi generasi muda, saat ditanya Masjid paling tua di Kota Salatiga, pasti jawabannya adalah Masjid Al- Atiiq yang terletak di Kauman atau Jalan KH Wahid Hasyim Nomor 2. Pasalnya, Masjid tersebut memang berada di lokasi strategis dan umurnya juga menginjak satu abad. Kemiripannya, antara Masjid Damarjati dengan Masjid Al- Atiiq sama- sama didirikan oleh laskar Pangeran Diponegoro.
Bila Masjid Al - Atiiq didirikan di tahun 1918 oleh Rono Sentiko, biasa disebut Kyai Rono Sentiko yang juga merupakan laskar Pangeran Diponegoro. Sebaliknya, Masjid Damarjati juga dibangun dirinya bersama Kyai Sirojudin tahun 1826 yang tak lain adalah sahabat Kyai Rono Sentiko. Belakangan Kyai Sirojudin yang diduga usianya lebih tua dibanding karibnya, akhirnya berganti nama menjadi Kyai Damarjati.
Kehadiran Kyai Damarjati dan Kyai Rono Sentiko, sebenarnya ditugaskan ke Salatiga untuk memata- matai pergerakan pasukan Belanda. Maklum, di tahun tersebut, Salatiga memang menjadi basis militer pemerintahan kolonial. Agar aktifitasnya tak dicurigai pihak penjajah, dua sahabat itu berpisah. Kyai Rono Sentiko menempati kampung Bancakan (sekitar 3 kilo meter dari kampung Krajan), sementara Kyai Damarjati tetap berada di kampung Krajan.
Direnovasi Dua Kali
Untuk memuluskan perlawanannya dalam melawan pasukan kolonial,duet Kyai Damarjati dan Kyai Rono Sentiko mendirikan mushola di tempat Masjid Damarjati berdiri. Selain berfungsi sebagai tempat ibadah, mushola juga dimanfaatkan guna menyusun strategi perang gerilya. Sementara Kyai Rono Sentiko, belakangan membangun Masjid Al- Atiiq usai perang Diponegoro berakhir. Ditengarai, hengkanya Kyai Rono sentiko dari kampung Krajan inilah yang membuat nama Kyai Damarjati lebih banyak dikenal sebagai pendiri Masjid.
Mushola yang dibangun oleh dua karib laskar Pangeran Diponegoro tersebut, seiring dengan perkembangan agama Islam di Salatiga akhirnya diubah menjadi Masjid. Untuk mengenang jasa Kyai Damarjati , namanya diabadikan sebagai nama Jalan sekaligus nama Masjid. Saat beliau wafat, belakangan dimakamkan di depan Masjid yang hanya dipisahkan jalan. Ada satu pintu tersendiri bagi peziarah yang ingin berkirim doa sekaligus ziarah ke makam beliau.
Berdasarkan keterangan, Masjid Damarjati yang menempati lahan seluas 369 meter persegi ini, sudah mengalami dua kali renovasi. Sesuai prasasti yang menempel di dinding , pemugaran pertama di tahun 1978. Berikutnya, di tahun 2007 kembali dipugar. Selain gentingnya diganti asbes, belakangan kubahnya juga dibuat dua buah. Sampai sekarang, Masjid yang kapasistasnya mencapai 200 orang tersebut tetap difungsikan kendati areal parkirnya sangat sempit.
Saat Sabtu (4/6) siang saya bertandang ke Masjid Damarjati, kebetulan situasinya sepi sehingga leluasa mengambil gambar. Dari pengamatan fisik Masjid masih kokoh berdiri dan diharapkan bakal terus tegak selamanya. Kendati telah berumur hampir dua abad, sayangnya bangunan ini tak termasuk cagar budaya, pasalnya bentuk aslinya sudah berubah total akibat renovasi. Itulah catatan tentang Masjid Damarjati yang merupakan Masjid tertua di Kota Salatiga. Di bulan Ramadhan nanti, Masjid bakal sarat dengan geliat umat yang menjalankan ibadahnya. (*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H