[caption caption="Istana Djoen Eng yang kubahnya dilapis emas (foto: dok humas setda Pemkot Salatiga)"][/caption]Bagi warga Kota Salatiga mau pun masyarakat Jawa Tengah, kompleks Rumah Khalwat Roncalli tak lebih dari sekedar tempat religius bagi para umat Katholik, bruder, frater, suster dan imam. Padahal, gedung ini menyimpan sejarah panjang tentang cita rasa tinggi seorang konglomerat Tionghoa bernama Kwik Djoen Eng . Bagaimana sepak terjangnya juragan besar di jaman kolonial ini ? Berikut penelusurannya.
Djoen Eng di tahun 1877 dikenal sebagai pengusaha muda tangguh di Kota Semarang, dengan bendera perusahaan bernama N.V. Kwik Hoo Tong Handel Maatschappij ( KHTHM) ia malang melintang di bidang ekspor impor hasil bumi. Hingga 43 tahun kemudian, yakni tahun 1920 ia telah menjelma menjadi konglomerat di era kolonial Belanda. Dirinya menguasai perdagangan luar negeri antara lain Cina, Eropa dan Amerika).
Konon Djoen Eng berasal dari Taiwan, di mana pertengahan abad 19, ia bersama empat saudaranya terdiri atas Kwik Hong Biauw, Kwik Ing Djie , Kwik Ing Sien dan Kwik Ing Hi merantau ke tanah Jawa. Kendati sama- sama mengais rejeki di Pulau Jawa, namun, hidup mereka berpencar di berbagai kota seperti Semarang, Solo, Salatiga, Yogyakarta serta Surabaya.
Kwik bersaudara yang sebelumnya kompak bahu membahu berbisnis hasil bumi, akhirnya sepakat mendirikan N.V. KHTHM yang bergerak di bidang ekspor impor. Nyaris seluruh bumi Nusantara dirambahnya, kendati begitu, mereka fokus pada perdagangan gula. Sebagai Raja kecil di Salatiga, praktis tidak ada barang yang tak mampu dibeli oleh Djoen Eng. Birokrasi pemerintahan kolonial Belanda yang serba keras dan memiliki tingkat disiplin tinggi, berhasil diterobosnya.
[caption caption="Istana Djoen Eng sekarang ini (foto: dok pribadi)"]
[/caption]Kawasan Jalan Diponegoro Kota Salatiga yang waktu itu bernama Toentangschweg adalah pemukiman kalangan Eropa. Tidak ada satu pun kaum pribumi yang diperbolehkan bermukim di sini, semisal terdapat satu dua pribumi, bisa dipastikan orang tersebut mempunyai jabatan di pemerintahan. “ Orang pribumi biasa, meski punya duit sangat diharamkan membeli lahan di situ,” tutur almarhumah Oma Martha, blasteran Belanda- Jawa yang sangat paham seluk beluk pemerintahan kolonial.
Oma Martha yang kerap saya jadikan referensi masa lalu menuturkan, meski pihak kolonial tak membuka celah sedikit pun bagi pribumi untuk mendirikan bangunan di kawasan Toentangschweg, namun, berkat kepiawaian Djoen Eng, ia mampu membeli lahan seluas 12 hektar lahan.” Bisa dikata tidak ada yang tidak bisa dibeli oleh Djoen Eng ,” jelasnya.
[caption caption="Halaman Istana Djoen Eng (foto: dok pribadi)"]
[/caption]Kenapa Djoen Eng memilih membangun istananya di Salatiga ? Banyak dugaan yang beredar, selain faktor prestise mampu tinggal di kawasan bergengsi yang didominasi orang Eropa, kondisi Kota Salatiga sendiri saat itu benar- benar jadi idaman semua orang berduit. Letaknya yang di ketinggian 850 mdlp, ditambah jumlah kendaraan bermotor bisa dihitung dengan jari, tak pelak udaranya benar- benar sejuk hingga membuat betah penghuninya.
Kubah Berlapis Emas
Djoen Eng yang mempunyai empat anak, berkeinginan membangun sebuah istana di lahan yang dibelinya. Untuk itu, tahun 1921 ia memulai proses pembangunannya. Memanfaatkan arsitektur Tionghoa, istana yang didirikan menggunakan bahan meterial kelas satu. Hampir empat tahun para kuli dan tukangnya bekerja guna menuntaskan gedung megah dua lantai yang oleh warga setempat disebut sebagai Istana Cuneng tersebut.
[caption caption="Pintu gerbang Istana Djoen Eng (foto: dok pribadi)"]
[/caption]Di areal seluas 12 hektar itu, Djoen Eng memadukan istana yang dikelilingi kebun hias, kolam ikan, kebun kopi dan juga kebun binatang. Untuk gedungnya sendiri, benar- benar sangat mewah, terdapat satu menara dikelilingi empat menara (kubah) lebih kecil yang melambangkan Djoen Eng bersama empat anaknya. Hebatnya, kubah- kubah itu berlapis emas murni. “ Kalau kata papahku, untuk membangun istana itu, Djoen Eng menghabiskan uang hampir 3 juta gulden,” ungkap Oma Martha.
Kendati menyandang status sebagai orang terkaya di Salatiga, namun, Djoen Eng ternyata tak bisa berlama – lama menikmati istananya. Berkisar tujuh tahun kemudian, sekitar tahun 1932 ketika terjadi krisis ekonomi, perusahaannya mengalami kebangkrutan. Celakanya, ia memiliki hutang di Javasche Bank dalam jumlah yang tidak sedikit. Akibatnya, istana yang dibangun berikut lahannya disita oleh bank jaman kolonial. Paska penyitaan aset, Djoen Eng menghilang. Ada yang menyebut dirinya meninggal di Singapura tetapi banyak pula yang menuturkan dia kembali ke tanah leluhurnya.