Lihat ke Halaman Asli

Bambang Setyawan

TERVERIFIKASI

Bekerja sebagai buruh serabutan yang hidup bersahaja di Kota Salatiga

Mengubah Batu Menjadi Emas

Diperbarui: 1 Januari 2016   19:39

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Bongkahan batu yang akan diubah menjadi emas (foto: bamset)"][/caption]

Bagi sebagian warga Blotongan Kota Salatiga, mengubah sebongkah batu menjadi emas, bukanlah isapan jempol. Selama berpuluh tahun mereka yang berprofesi sebagai pengrajin bongpay, mampu  “menyulap” keberadaan bongkahan batu hingga dihargai sampai Rp 50 juta.

Tak jelas sejak kapan warga Blotongan mulai menekuni kerajinan bongpai, yang pasti saat saya masih kecil, di tahun 60 an, aktifitas mengukir batu besar tersebut sudah ada. Secara turun menurun, keahlian menatah dan membentuk benda keras menjadi semacam relief itu berjalan dengan alami. Kendati jumlah pengrajin sekarang telah banyak berkurang, namun eksistensi mereka setiap harinya masih jelas terlihat.

[caption caption="Bongpai yang sudah dipasang di makam (foto: bamset)"]

[/caption]

Bongpai sendiri merupakan nama batu nisan yang biasa dipakai oleh warga keturunan Tionghoa untuk memperindah makam leluhurnya. Konon, keberadaan bongpay di makam seseorang yang sudah meninggal menjadi gambaran perjalanan hidup dan simbol kehidupan yang pernah dijalani almarhum semasa hidupnya. “ Bila orang itu semasa hidupnya dikenal sebagai orang kaya, maka bongpai yang terpasang bisa seharga ratusan juta,” kata warga setempat yang mengaku bernama Rohmat.

Menurut Rohmat, bongpai sendiri bukan selalu berujut relief. Tetapi bisa dibentuk menjadi batu nisan, patung dan asesoris lain. Prinsipnya, semakin tinggi strata sosial orang yang meninggal, maka bongpai yang terpasang juga sangat rumit serta mempunyai nilai jual yang tinggi pula. Mahalnya harga bongpai karena pengerjaannya membutuhkan ketelitian, kesabaran hingga waktu yang cukup lama.

Bongpai produksi warga Blotongan berbahan dasar batu alam yang keras, di mana batu- batu tersebut biasanya didatangkan dari luar kota Salatiga. Biasanya, pengrajin mengerjakan ukiran berdasarkan order keluarga yang baru saja ditinggalkan oleh anggota keluarganya. “ Pesanan – pesanan tersebut meliputi dari Salatiga sendiri, Semarang, Surabaya, Jakarta bahkan hingga Medan,” tutur Rohmat tanpa bernada pamer.

[caption caption="Relief yang baru setengah jadi (foto: bamset)"]

[/caption]

Karena memiliki pangsa pasar yang jelas, maka para pengrajin sampai sekarang tetap menekuni profesinya itu. Sebab, kendati pengerjaannya membutuhkan waktu cukup lama, namun hasilnya layak disebut sangat lumayan. Untuk bongpai ukuran kecil, harganya mencapai Rp 20 jutaan, sedang bongpai besar mampu menembus angka Rp 100 juta. Menggiurkan memang.

Terancam Putus Penerus

Pengerjaan order bongpai bagi orang awam teramat  rumit, dimulai dari membelah bongkahan batu menjadi lempengan. Selanjutnya digambar, terus diukir hingga memasuki finishing. Untuk pengukiran, para pengrajin harus memiliki jiwa seni yang tinggi. Salah sedikit, maka fatal akibatnya. Terkait hal tersebut, hanya pengrajin yang telah kenyang pengalaman saja yang mampu melakukannya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline