Lihat ke Halaman Asli

GTT Anggota PGRI Gunungkidul Terlunta-Lunta, Tak Ada yang Membela

Diperbarui: 22 Januari 2017   14:11

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Slamet, anggota DPRD DIY dari Fraksi Golkar. foto dokumen pribadi

Total guru di Gunungkidul mencapai 10 ribu lebih. Tigapuluh persen dintaranya  berstatus sebagai guru tidak tetap atau GTT. Nasib mereka terlunta-lunta, terutama dilihat dari sisi kesejahteraan. PGRI selaku organisasi profesi yang menjadi tempat GTT berlidung, menurut Slamet, S.Pd. MM, tidak terlihat melalukan advokasi / pembelaan.

Ketua PGRI Gunungkidul, Bahron Rosyid mengakui, bahwa anggotanya sampai dengan tahun 2017 awal, berjumlah 10.910 orang. Tetapi dia tidak merinci soal jumlah GTT yang masuk di dalam organisasi yang dikendalikannya.

Mengutip data di dalam dokumen APBD tahun 2016, anggota DPRD DIY dari fraksi Gokar Slamet, S.Pd. MM menemukan angka GTT anggota PGRI mencapai 30%.

“Saya menemukan 3.000 lebih GTT aggota PGRI yang nasibnya masih terbilang kurang mujur. Artinya, mereka masih menunggu antrian panjang yang tidak jelas, kapan mereka diangangkat menjadi calon pegawai negri sipil (CPNS),” ujar Slamet Minggu 22/1/2017.

Menurut Slamet, para GTT tersebut makin terlunta-lunta menyusul adanya isu pungutan Rp 25.000 dengan alasan untuk biaya mengawal revisi UU Aparat Sipil Negara (ASN) yang menuai pro kontra di antara mereka.

Disayangkan institusi PGRI selaku organisasi tempat para GTT itu berlindung tidak melakukan tindakan perlindungan.

Sementara salah satu tujuan didirikannya PGRI adalah menjaga, memelihara, membela serta meningkatkan harkat dan martabat guru melalui peningkatan kesejahteraan anggota serta kesetiakawanan organisasi,” tegas mantan guru honorer ini  mengutip tujuan PGRI.

Slamet memperkirakan, nasib GTT anggota PGRI tidak akan  berubah selama pipmpinan organisasi profesi itu dipegang bukan oleh guru, tetapi oleh pejabat struktural. Menurutnya, pejabat menjadi pengendali PGRI tidak memberi manfaat apapun kepada anggotanya.

“Mereka tidak akan memperjuangkan nasib GTT yang menjadi anggotanya, karena mereka sudah tidak lapar lagi,” ujarnya ketus.

Terlebih, menurut politisi Golkar asal Kecamatan Nglipar ini, Peraturan Pemerintah No. 48 Tahun 2005 Tentang Pengangkatan Tenaga Honorer Menjadi Calon Pegawai Negri Sipil Pasal  8, membuat Pemerintah Daerah tak bisa berbuat banyak.

Dalam Pasal 8 dinyatakan, Sejak ditetapkannya Peraturan Pemerintah ini, semua Pejabat Pembina Kepegawaian dan pejabat lain di lingkungan instansi, dilarang mengangkat tenaga honorer atau yang sejenis, kecuali ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline