Lihat ke Halaman Asli

Redupnya Budaya Tutur Pengaruhi Lunturnya Karakter Anak

Diperbarui: 12 September 2016   16:43

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber ilustrasi: blog.unnes.ac.id

Dongeng pada Dekade 60-an Pernah Berjaya
Sekitar Tahun 1960-an, guru Sekolah Rakyat atau disingkat SR (sekarang SD), seminggu sekali berkewajiban untuk mendongeng di depan anak-anak. Kala itu dongeng menjadi salah satu pelajaran favorit yang ditunggu para siswa.

“Salah satu SR di Kecamatan Patuk, sekarang namanya SD Buner II, punya guru yang fasih mendongeng. Ibu Tukilah, demikian nama guru yang pintar membawakan sejumlah dongeng itu,” kenang MH Mudilestari, pegiat perempuan, di rumahnya, Minggu 11/9/2016.

Yang Ibu Tukilah bawakan, lanjut Mudilestari, pasti dongeng melankolis bertema ketidakadilan seperti MawarMenur dan Melati, atau Bawang Merah Bawang Putih. Jarang dia mendongeng soal Kancil Nyolong Timun. Cerita yang disebut belakangan biasanya dibawakan oleh guru laki-laki.

Dihimpun dari berbagai sumber, Mulai 18 Februari 1960 hingga 6 Juni 1968 Menteri Pendidikan secara berturut-turut oleh Presiden Soekarno dipercayakan kepada: Priyono, Sarino Mangun Pranoto, serta Sanusi Hardjadinata.

“Saya menduga, kebijakan Menteri Sarino Mangun Pranoto, tokoh Taman Siswa kala itu berpengaruh besar terhadap kebijakan pemerintah, sehingga guru SR diwajibkan membawakan dongeng di depan kelas,” ulas Mudilestari. Dongeng, sebagai karya sastra, memiliki kekuatan luar biasa dalam membentuk karakter siswa. Penokohan cerita yang cenderung hitam putih, menggiring para murid untuk berpihak kepada kebenaran. Tetapi masuk ke kurun waktu 1970-an, kritik Mudilestari, tidak ada lagi guru yang mendongeng di depan kelas. Termasuk sampai ke Orde Reformasi. 

“Masa jaya kebiasaan mendongeng hanya sekejap. Dewasa ini tergilas oleh budaya layar kaca, yang bertubi mempertotonkan telenovela produk/budaya mancanegara,” ujar Mudilestari prihatin.

Menurutnya dua hal yang menjadi penyebab mengapa kebiasaan mendongeng berhenti yakni: Pertama: pemerintah tidak ada kepedulian untuk itu. Peran guru sebagai pendongeng digantikan oleh perpustakaan sekolah. Dianggap, murid kelas I SD sudah cukup matang untuk memahami isi dongeng tertulis. Murid, dalam hal ini kehilangan guru dengan gerak mimik tertentu yang membantu pemahaman cerita.

Kedua, simpul Mudilestari, orang tua tidak lagi memiliki empati. Hampir mirip dengan pemerintah, mereka menguasakan penuh kepada sekolah plus stasiun TV yang royal memutar film/cerita. 

Ketika terjadi penyimpangan karakter tak terkendali, baru mereka terkaget-kaget. Dia menunjuk contoh kongkrit, yakni Megawati Sukarno Putri mengeluhkan perilaku anak muda yang dengan enteng mem-bully presiden. "Sekarang saya lihat anak muda sopan santunnya nggak ada. Di medsos kebal aja nggak. Presiden sendiri dijelek-jelekin. Saya mikir, kita ini negara apa toh," kutip Mudilestari sebagaimana dilansir media.

Yogyakarta Pionir Pembacaan Buku
“Keheranan yang dilontarkan oleh Megawati rasanya merupakan kutukan zaman. Jokowi, dengan Nawacita-nya memang bertekad membangun karakter bangsa. Sayang, dia tidak fasih benar (mengenai) bagaimana agar setiap warga negara punya sopan santun,” kata Untung Nurjaya, mantan anggota DPRD Gunungkidul.

Dongeng, yang di era 1960-an harus diceritakan live di depan para murid, untuk yang pertama kalinya diubah menjadi cerita dengan format audio melalui siaran tunda RRI Nusantara II Yogyakarta.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline