Lihat ke Halaman Asli

Guruku Mendoakanku

Diperbarui: 26 Juni 2015   16:51

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

[caption id="attachment_115909" align="alignnone" width="500" caption="Mohon doanya/dokument pribadi"][/caption] Yakin 100% jika yang membaca tulisan ini pernah mempunyai guru, biarlah yang tidak mengakuinya terkutuk seumur hidupnya. Bermula di rumah seorang paman yang seorang guru, sang paman akan menikahkan sepupuku. Sebagai seorang keponakan yang juga tetangga, kami datang berbantu menyiapkan acaranya. Dari membentuk kepanitiaan, mengatur tata ruang juga merencanakan acara. Pada saat itulah tertemukan sebuah selebaran yang isinya mengajak sesama guru di suatu sekolah untuk mendoakan muridnya yang akan UAN kemarin dulu. Karena yakin bukan catatan penting, kuberanikan mengamankan di kantung celana. Sebagai seorang guru tentu saja tamunya kebanyakan juga guru. Seperti malam itu saat Midodareni, ada juga bekas guru SD dan SMP yang datang. Dunia tidak akan membosankan seperti saat itu seandainya tidak ada bekas guru sekolah yang membuat kita muak. Walau sudah bukan anak sekolah, tetapi setiap bertemu guru selalu tercipta ruang dan waktu sekolahan yang membikin jengah. Di sudut hati kita tetap merasa menjadi seorang murid sekolah. Tatapan matanya menagih ada tugas yang belum terselesaikan. Semua cara dan ilmu sudah kami jabarkan, tetapi kenapa kamu belum menjadi sarjana, dokter, jendral dan presiden seperti yang kamu janjikan? Arrrrrrrgh Piye mbang? sapa salah satu bekas guru SMP. Piye, bagaimana, adalah suatu pertanyaan yang sulit kujawab. Seandainya pertanyaan klise, anakmu sudah berapa, tentu mudah kujawab saya tidak punya anak pak! Hahahahahaa Setelah obrolan kikuk yang berliku-liku, kusodorkan selebaran tersebut dengan pertanyaan, apa dulu satu sekolahan mendoakan saya? Lha rumangsamu? (lha menurutmu?) Siaaaaal, itu bukan jawaban yang kuingini. Tersenyum lebar dirimu memandangku yang cuma bisa tertawa panjang salah tingkah. Ampun Tuan Guru, diriku selalu takluk di hadapanmu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline