Lihat ke Halaman Asli

Mempersempit Ruang Bagi Plagiator Tampil di Media

Diperbarui: 25 Juni 2015   20:54

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Media. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Free-photos

Selesai sholat Jum’at, seorang kawan dari Malang, Jawa Timur memberi pesan singkat lewat twitter. Isinya pendek saja: Ketua FPKB DPR RI memplagiat tulisan Aktivis KAMMI.

Setelah saya baca-baca di twitter, ternyata Ketua FPKB yang dimaksud adalah Marwan Ja’far. Sementara Aktivis KAMMI yang dituju adalah mahasiswa Universitas Muslim Indonesia Makassar bernama Jusman Dalle. Hari itu pula twitter hangat soal plagiarisme tersebut. Sungguh jarak ratusan kilometer menjadi tak berarti. Kabar hangat bisa langsung dipertukarkan dengan cepat lewat dunia maya.

Dalam akun twitternya @jusmandalle, Jusman menuduh tulisan Marwan yang berjudul Pengelolaan Energi Libya Pasca-Qadhafi yang dimuat di Koran Tempo pada Jum’at (13/01/2012), adalah hasil plagiat dari dua tulisannya yang pernah dimuat di media online. Tulisan pertama berjudul Quo Vadis Libya di okezone.com pada 25 Oktober 2011. Sementara Perang Ideotik Libya yang dimuat detikcom pada 28 Maret 2011.

Tentu saja, saya tak perlu lagi menunjukkan di mana letak kesamaan antara tulisan Marwan Jafar dengan tulisan Jusman Dalle. Saya kira media online sudah melakukan pekerjaannya dengan baik.


Kalau masih tak percaya, Anda bisa membandingkan sendiri dengan menjajarkan tiap paragraf dari kedua tulisan tersebut. Namun menurut Jusman, sekitar 85 persen tulisannya sama dengan tulisan karya Marwan. Sisanya diganti diksi dan diubah sedikit-sedikit. Bahkan, kata Jusman, ada dua paragraf yang tidak diubah sama sekali.

Bagaimana Marwan menanggapi tuduhan tersebut? Tentu saja membantah. Sama seperti setiap tuduhan yang dialamatkan keseorang anggota DPR. Kenapa tulisannya sama? Menurut Marwan, karena ada pandangan dan argumentasi yang sama. Selain itu, karena sumber referensi yang dipakai dalam menulis artikel sama-sama berasal tulisan Larry Diamond.

Alasan macam ini mengingatkan saya pada polemik plagiarisme cerpen Rashomon karya Dadang Ari Murtono yang pernah dimuat di Kompas yang pernah dikomentari As Laksana. Menurut penulis kondang itu, setiap Individu adalah unik, sehingga tidak mungkin orang yang berbeda memperoleh pandangan yang sama saat melihat realitas yang sama. Untuk lengkapnya saya kutipkan untuk Anda soal “pandangan yang sama” dari blog As laksana.

Tiap-tiap orang akan melihat kenyataan dari pandangan dunianya masing-masing. Karena itu, di tangan seribu penulis kita akan mendapatkan seribu cerita, seribu cara pandang, seribu suara tuturan, pada saat mereka diminta menggarap satu tema. Dari sudut pandang satu karakter kita bisa mendapati satu cerita dan realitas yang hanya milik karakter tersebut. Sementara dari sudut pandang karakter lain, kita akan mendapati cerita dan realitas lain, kendati peristiwanya sama. Itu karena isi kepala masing-masing dari mereka berbeda, dan realitas adalah representasi pandangan dunia masing-masing orang.

Namun lagi-lagi Marwan dengan tegas membantah. “Apa seperti ini disebut plagiat. Ini bukan tesis, desertasi atau buku, tapi artikel,” kata Marwan, seperti dikutip Tempo.co, Jum’at (13/01).

Sungguh. Saya sedikit kaget juga dengan pernyataan Marwan. Saya tidak tahu kalau artikel boleh diplagiat. Mungkin menurut Marwan hanya guru besar sajalah yang bisa kena tuduhan menjadi plagiator karena melakukan plagiat pada tesis atau disertasi seperti yang sudah-sudah terjadi.

Tapi lupakan lah itu. Saya ingin membicarakan hal lain. Bagaimana agar kasus tuduhan plagiarisme macam ini tidak kembali terulang.

Kenapa tulisan Marwan tersebut bisa sampai dimuat di kolom opini Koran Tempo. Menurut Sang Redaktur Pelaksana, Yos Rizal, karena ia tidak sempat memeriksa satu per satu naskah dengan tulisan yang sudah pernah dimuat di media lain. "Mengingat terlalu banyak naskah tiap harinya, jadi memang publik yang bisa mengoreksinya," ucap dia.

Alasan yang diungkapkan Yos Rizal mengingatkan saya pada seorang redaktur yang ada dalam novel Aku,Buku dan Sepotong Sajak Cinta karya Muhidin M Dahlan. Sang redaktur sempat di-misuhi oleh tokoh utama dalam novel tersebut karena beralasan tak sempat membaca satu persatu artikel yang masuk karena alasan klise: begitu banyak artikel yang masuk tiap harinya.

Selain menyerahkan kepada sidang pembaca, saya kira media harus menambah sistem koreksi agar tulisan yang sudah pernah dimuat di media lain naik kembali.

Kenapa penting? Karena hal tersebut bisa menjadi blunder bagi media yang memuat tulisan hasil plagiat. Media bisa dituduh sengaja meloloskan artikel plagiat untuk menjatuhkan nama penulis. Mengada-ngada tapi tentu saja bisa terjadi. Apalagi kita tinggal di Indonesia.

Susahkan? Untuk saat ini, saya kira tidak. Sang redaktur tinggal memasukkan beberapa kalimat di mesin pencari. Kalau ini dilakukan, kasus macam ini saya kira tidak akan terjadi. Hal tersebut penting karena dengan adanya kasus plagiarisem macam ini jangan sampai memperkuat dugaan bahwa redaktur lebih mempertimbangkan nama penulis dari pada isi tulisan untuk setiap tulisan opini yang akan dimuat.

Sebelum mengakhiri tulisan ini, saya tak tahan untuk bertanya pada Anda. Kira-kira apa motivasi seorang plagiator nekat mengirimkan naskah hasil plagiatnya ke media?

Saya kira bukan masalah honor semata. Menjadi seorang penulis adalah sebuah kebanggan. Apalagi saat mengetahui nama anda tercetak sebagai penulis di halaman opini. Saya kira itu bagus untuk pencitraan karena efektif dari pada Anda mencetak baliho bergambar foto Anda dan memasangnya di sudut-sudut jalan.

Salam.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline