Disapa dengan sebutan prof dalam beberapa kegiatan pelatihan penulisan, saya senyum-senyum saja. Lalu, buru-buru saya mengklarifikasi bahwa diri ini belum memperoleh gelar akademis sehebat itu. Tapi, yang memanggil prof bergeming.
Ada juga yang coba membesarkan hati saya, "Bagi saya Pak Bambang ini sudah layak menjadi profesor. Guru besar ilmu penerbitan."
Waduh!
Ketika riuh tentang gelar profesor kehormatan, saya pun berangan-angan seandainya ada kampus yang mau menghadiahkannya kepada saya, tentu takkan saya tolak.
Namun, angan-angan ya tinggal angan-angan karena saya bukan pejabat, pimpinan partai, apalagi pesohor yang pantas setidaknya menjadi wakil wali kota.
Soal sapaan prof itu akhirnya saya membalasnya dengan tawa saja soalnya pada saat itu saya hanya lulusan D-3 dan S-1. Baru tahun 2023 saya menyelesaikan studi S-2 Komunikasi Korporat di Universitas Paramadina.
Keinsafan kuliah lagi itu datang setelah gabut melanda pada masa pandemi. Kuliah ternyata membuat saya malah keranjingan dan merasa tanggung tidak sampai S-3.
Alhasil, saya pun mendaftar untuk mengambil kuliah S-3 tentang ilmu penerbitan di salah satu kampus di Malaysia. Belum mulai karena saya masih menunggu surat penerimaan. Harap-harap cemas, jangan-jangan diterima.
Profesor pada Tempatnya
Seperti yang banyak dipahami bahwa 'profesor' merupakan gelar yang disematkan sebagai jabatan akademis ketika seseorang menyandang posisi guru besar di suatu kampus. Ia jelas memiliki home base di suatu kampus dan telah mengabdi tanpa jeda lebih dari 10 tahun.
Karena itu, orang seperti saya yang sempat putus-nyambung mengajar di kampus, bahkan bukan dosen tetap, dan kini tidak memiliki home base kampus, mustahil memperoleh gelar profesor, apalagi belum bergelar doktor.