Lihat ke Halaman Asli

Bambang Trim

TERVERIFIKASI

Pendiri Penulis Pro Indonesia

Berapa Persentase Plagiat?

Diperbarui: 9 Mei 2022   11:31

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Roman Didkivskyi/Getty Images

Beberapa kali dalam kegiatan pelatihan menulis untuk para dosen, saya mendapat pertanyaan tentang persentase plagiat. Maksudnya, berapa persen plagiat alias jiplakan mentah-mentah diizinkan dalam suatu karya tulis?

Sejatinya ini mirip alkohol dalam pandangan Islam bahwa 0,1% pun terlarang. Jadi, tidak ada sepersekian persen plagiat di dalam karya tulis yang dapat ditoleransi. Jika Anda mengutip karya tulis orang lain, sebutkan sumbernya atau tuliskan atribusi pada karya tersebut sebagai karya kutipan.

Pertanyaan yang dilontarkan dosen tersebut karena keliru memaknai similarity (kemiripan) sebagai toleransi plagiarisme. Kemiripan artinya seberapa banyak kutipan menggunakan kutipan langsung. Di dalam dunia akademis untuk memunculkan orisinalitas karya dimaklumkan pengutipan dengan cara tidak langsung atau pengutipan parafrasa.

Perhatikan contoh teks asli berikut ini.

AI bukanlah hal yang baru dan bukan hal yang ajaib. Pengembangan pertama AI dimulai sejak tahun 1950-an. AI mengacu pada kemampuan sistem-sistem komputer atau mesin untuk menunjukkan perilaku cerdas yang memungkinkan mereka untuk bertindak dan belajar sendiri. 

Dalam bentuk paling dasarnya, AI mengambil data, menerapkan beberapa aturan kalkulasi (atau algoritma) pada data tersebut kemudian mengambil keputusan atau memperkirakan hasil (Marr dan Ward, 2021: 4).

Parafrasa dapat dilakukan seperti ini.

AI telah dikembangkan kali pertama sejak tahun 1950-an. Karena itu, AI bukanlah sesuatu yang mutakhir dan bukan pula sebuah keajaiban. Secara sederhana pola kerja AI adalah mengambil data, menerapkan algoritma pada data tersebut, lalu membuat keputusan dan memperkirakan hasilnya. 

Jika dibedah lebih jauh, AI berbasis pada keandalan sistem-sistem komputer atau mesin untuk mendemonstrasikan kecerdasannya. Hal tersebut memungkinkan peranti ini mampu bertindak dan belajar secara mandiri (Marr dan Ward, 2021: 4). 

Masalahnya, keterampilan parafrasa jarang diajarkan sejak SMA atau bahkan di perguruan tinggi. Mahasiswa terbiasa mengutip suatu teks apa adanya. Parafrasa memerlukan keterampilan mengubah struktur tulisan, mencari diksi yang bersinonim, dan tentu mempertahankan makna kutipan. Kutipan yang diparafrasa akan menjadi pelanggaran hak cipta jika makna yang dikandungnya berubah.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline