Ada ungkapan yang terkenal di kalangan akademisi Barat: Publish or perish! Ungkapan yang menunjukkan publikasi karya tulis (ilmiah) itu sangat penting sebagai penguat jati diri seorang dosen. Ungkapan kedua menunjukkan betapa pentingnya sebuah karya berbentuk buku: All scientists are the same; until one of them writes a book.
Namun, bagi para dosen di Indonesia, buku bukan sekadar karya, melainkan juga jalan untuk menaikkan posisi mereka sebagai dosen melalui penambahan angka kredit.
Di dalam sistem penilaian angka kredit kenaikan jabatan akademik/pangkat dosen, karya buku termasuk yang diperhitungkan dan mengandung bobot yang lumayan untuk mendongkrak angka kredit. Namun, pendekatannya bukan produktivitas karena setiap dosen dibatasi hanya dapat mengajukan satu judul per tahun sebagai angka kredit.
Melalui artikel ini saya ingin membedah Pedoman Operasional Penilaian Angka Kredit Kenaikan Jabatan Akademik/Pangkat Dosen yang diterbitkan oleh Ditjen Sumber Daya Iptek dan Dikti Tahun 2019 dan sikronisasinya dengan Pedoman Publikasi Ilmiah Dikti 2017 yang diterbitkan Direktorat Penguatan Riset dan Pengembang. Tentu saja pembahasan artikel ini berfokus hanya pada karya buku.
Pada faktanya meskipun ada dua pedoman, tetap muncul kebingungan di antara para dosen, tidak terkecuali para penentu kebijakan di perguruan tinggi. Kebingungan itu dipicu terminologi/definisi yang tidak jelas tentang buku dan kriterianya.
Tulisan ini dimaksudkan mengurai kebingungan dan menjadi opini awal untuk merevisi kebijakan angka kredit kenaikan pangkat/jabatan dosen terkait dengan karya buku.
Sebelum itu, saya perlu mengutip komponen penilaian angka kredit dosen dari Pedoman Operasional Penilaian Angka Kredit Kenaikan Jabatan Akademik/Pangkat Dosen tahun 2019:
Komponen penilaian dalam jabatan akademik dosen terdiri dari (i) unsur utama yang meliputi: pendidikan (meliputi pendidikan sekolah dan pelaksanaan pendidikan (pengajaran), penelitian (meliputi pelaksanaan penelitian dan menghasilkan karya ilmiah sains/teknologi/seni/sastra), dan pengabdian kepada masyarakat dan (ii) unsur penunjang yang merupakan kegiatan pendukung pelaksanaan tugas pokok dosen. Jumlah angka kredit kumulatif minimal yang harus dipenuhi oleh setiap dosen untuk dapat diangkat dalam jabatan akademik paling sedikit dibutuhkan angka kredit 90% (sembilan puluh persen) dari unsur utama tidak termasuk pendidikan sekolah yang memperoleh ijazah/gelar dan Pendidikan dan Pelatihan (Diklat) Prajabatan (sesuai lampiran II Permen PAN dan RB No. 46 Tahun 2013 dan lampiran III Permen PAN dan RB No. 13 Tahun 2013); serta unsur penunjang paling banyak dibutuhkan angka kredit 10% (sepuluh persen) atau boleh tidak ada.
Artinya, seorang dosen yang ingin naik pangkat harus fokus pada unsur utama yang disebut 1) pelaksanaan pendidikan; 2) pelaksanaan penelitian; dan 3) pelaksanaan pengabdian masyarakat (Tri Dharma Perguruan Tinggi). Makin tinggi jabatan seorang dosen maka nilai angka kredit pelaksanaan penelitian persentasenya semakin besar. Sebagai contoh, seseorang dengan jabatan profesor (pendidikan doktor) harus memenuhi unsur pelaksanaan pendidikan sama atau lebih dari 35% dan unsur pelaksanaan penelitian sama atau lebih dari 45%.
Memahami Buku Akademis dan Angka Kreditnya
Buku tidak dapat dipisahkan dari konteks pendidikan. Di satu sisi buku penting digunakan sebagai bahan pengajaran yang primer. Di sisi lain, buku juga menunjukkan kadar intelektual seorang dosen yang mengampu suatu mata kuliah.