Banjir melanda Ibu Kota. Di sebuah grup WA yang berisikan orang-orang perbukuan alias pengurus dan mantan pengurus Ikapi, diinfokan bahwa anak-anak korban banjir di Jakarta memerlukan hiburan di beberapa tempat pengungsian. Ada imbauan para penerbit agar dapat menyumbangkan buku-bukunya untuk mereka.
Sudah sering saya mendapatkan informasi atau ajakan menyumbangkan buku-buku untuk korban bencana alam. Buku-buku juga disumbangkan kepada mereka yang kekurangan sebagai makanan rohani. Sejatinya, buku sebenarnya tidak dapat dipisahkan dari kehidupan kita, baik kala susah maupun kala gembira.
Para penerbit buku tentu sukarela untuk menyumbang dan para pelaku perbukuan juga sukarela menulis dan menerbitkan buku atas nama kepentingan negara. Namun, ada kalanya negara justru lupa dengan penerbit dan pelaku perbukuan yang sejatinya memerlukan ekosistem yang sehat untuk sekadar bertahan hidup.
Ada satu titik cerah ketika perbukuan mendapat perhatian para anggota dewan. Atas inisiatif DPR maka meluncurlah RUU tentang Sistem Perbukuan (Sisbuk) dalam prolegnas. RUU Sisbuk itu pun digas pol hingga terbit dan ditandatangani Presiden Jokowi pada 28 Mei 2017. Meskipun demikian, pemerintah mewanti-wanti tidak akan membentuk badan baru khusus untuk perbukuan sebagaimana diinginkan DPR. Sebagai kompromi maka akan direorganisasi badan yang sudah ada menjadi mengandung unsur perbukuan.
Pusbuk yang Kembali Menjadi Puskurbuk
Gelombang perubahan dalam Kabinet Indonesia Maju juga melanda Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Setelah kejutan Presiden Jokowi menunjuk Nadiem Makarim sebagai Mendikbud, kejutan lainnya adalah perubahan-perubahan kebijakan, termasuk juga perubahan Organisasi dan Tata Kerja di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Saya lebih menyoroti perubahan yang termasuk aneh pada organisasi/lembaga perbukuan yang sejak masa Mendikbud Doed Joesoef dibentuk di bawah Kemendikbud. Perubahan organisasi yang mengacu pada amanat UU Nomor 3 Tahun 2017 tentang Sistem Perbukuan adalah mereorganisasi Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa menjadi Badan Pengembangan Bahasa dan Perbukuan. Maka dari itu, di bawah badan tersebut berdiri Pusat Perbukuan yang dipimpin seorang pejabat eselon II.
Pusat Perbukuan sendiri dalam sejarahnya atas keputusan Mendikbud Mohammad Nuh disatukan dengan Pusat Kurikulum menjadi Pusat Kurikulum dan Perbukuan (Puskurbuk). Sejak saat itu, ruang gerak Pusat Perbukuan menjadi dibatasi yang sebelumnya aktif di dalam beberapa program perbukuan pemerintah. Kewenangan penilaian buku teks kemudian dialihkan ke Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP).
Pusbuk ataupun Puskurbuk sejak dulu berada di bawah Badan Penelitian dan Pengembangan (Balitbang) Kemendikbud. Menjelang tutup tahun, 27 Desember 2019, Presiden Jokowi mengumumkan perubahan organisasi dan tata kerja di Kemendikbud. Pusat Perbukuan yang sebelumnya sudah dipisahkan pada Desember 2018 ke tubuh Badan Pengembangan Bahasa dan Perbukuan, ditarik kembali ke Balitbang dengan nomenklatur baru Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan (nama yang seperti dipaksakan).
Meskipun 'Perbukuan' menjadi nama badan, organisasinya justru kembali diciutkan menjadi Pusat Kurikulum dan Perbukuan. Artinya, pejabat Puskurbuk harus benar-benar super menangani sekaligus dua persoalan utama pendidikan yaitu kurikulum dan perbukuan. Langkah ini tentu menyiratkan kemunduran sebagaimana diamanatkan oleh UU Sisbuk dan PP Nomor 75 Tahun 2019 yang baru saja disahkan pemerintah.
Wewenang dan Tanggung Jawab Perbukuan
Pemerintah sesuai dengan Pasal 35 UU Sisbuk Nomor 3/2017 memiliki wewenang di bidang perbukuan sebagai berikut:
- menetapkan kebijakan pengembangan Sistem Perbukuan;
- menetapkan kebijakan pengembangan budaya literasi;
- mengembangkan Sistem Perbukuan yang sehat;
- memberikan insentif fiskal untuk pengembangan perbukuan; dan
- membina, memfasilitasi, dan mengawasi penyelenggaraan Sistem Perbukuan.