Baru saja Indonesia diguncang gempa duka. Pasalnya, Sutopo Purwo Nugroho, pengabar gempa dan bencana itu telah pergi untuk selamanya. Sutopo yang bergiat sebagai Kepala Pusat Data, Informasi, dan Hubungan Masyarakat BNPB secara heroik terus berkhidmat pada pekerjaannya sembari melawan kanker paru-paru stadium IV. Akhirnya, Sang Khalik memanggil tokoh penting Indonesia ini.
Selain membaca berita duka yang menghiasi banyak media daring, saya pun juga mencari jejak-jejak tulisan Sutopo, terutama di dalam bentuk buku. Saya belum menemukan jejak berupa buku tentang kiprah Sutopo atau pemikiran Sutopo terkait bidangnya kini, analisis bencana. Namun, tulisan orang lain tentang Sutopo bertebaran.
Walaupun begitu, bukan berarti Pak Sutopo belum menulis. Mungkin saja saya tidak menemukannya dengan cara meramban di internet. Saya kira juga dalam tempo yang tidak terlalu lama, bakal ada penerbit yang membukukan tulisan-tulisan ilmiah Sutopo atau menerbitkan biografi Sutopo.
Berdasarkan rekam jejak kariernya, sebelum menjadi Kepala Pusat Data, Informasi, dan Humas BNPB, Sutopo sempat menjadi Direktur Pengurangan Risiko Bencana di BNPB. Sebelumnya Sutopo yang merupakan alumnus dari UGM (S-1) dan IPB (S-2 dan S-3) ini bekerja di BPPT dengan jabatan fungsional peneliti utama. Sebagai peneliti, Sutopo mendalami hidrologi serta konservasi tanah dan air.
Melalui rekam jejak tersebut, tentu karya tulis ilmiah (KTI) sangatlah akrab dengan karier Sutopo. Sebagai peneliti senior, ia selangkah lagi menjadi profesor riset yang merupakan jabatan fungsional paling tinggi dan bergengsi di ranah penelitian. Namun, penganugerahan gelar profesior riset Sutopo terganjal di LIPI dengan alasan Sutopo memegang jabatan Kapusdatinmas di BNPB. Padahal, Sutopo hanya diperbantukan di BNPB dan jabatannya tetap sebagai fungsional peneliti.
Dalam sebuah wawancara di Detik.com, Sutopo tetap tidak dapat menyembunyikan kekecewaannya terhadap LIPI. Ia berujar, "Padahal kalau mau jujur, apa yang saya lakukan di BNPB itu melebihi riset daripada sebagian peneliti di LIPI dan BPPT sana. Bayangkan saya memantau tiap hari bencana. Begitu ada bencana saya analisis. Pengetahuan saya, saya curahkan. Langsung saya berikan ke media, masyarakat dan pimpinan, termasuk Presiden. Teori-teori yang ada kita terapkan langsung di lapangan. Hasilnya saya tulis dalam buku, rilis dan makalah. Apa itu bukan penelitian?" sambungnya mempertanyakan.
Ujaran Sutopo di Detik.com ini menunjukkan betapa Sutopo telah menulis beberapa karya ilmiah. Penting juga jika orasi ilmiah ketika hendak menjadi profesor riset yang "digagalkan" itu dibukukan, mungkin oleh anak-anak beliau, sebagai kenangan dan penghormatan kepada sosok Sutopo. Boleh juga BNPB yang berinisiatif membukukan kiprah Sutopo ini agar abadi dalam ingatan masyarakat Indonesia, termasuk melahirkan generasi "Sutopo-Sutopo" selanjutnya.
Kisah perjalanan karier Sutopo juga menarik ketika beliau lebih memilih bergiat di BNPB dan meninggalkan impian menjadi profesor riset. Gelar itu baginya bukan segalanya, ia lebih memilih mengabdikan keilmuannya untuk memberi peringatan bencana kepada masyarakat Indonesia. Jadilah kemudian Sutopo sebagai "bintang" dalam perjalanan sejarah kebencanaan di negeri ini---apalagi saat negeri ini didera banyak bencana.
Sebenarnya ada banyak tokoh penting di Indonesia yang belum dibukukan tulisan atau pemikirannya hingga saat ini dan juga kiprahnya dalam bentuk biografi/autobiografi. Tokoh yang juga baru-baru ini meninggal yaitu Ibu Ani Yudhoyono termasuk telah banyak membukukan kiprahnya. Buku itu sekali lagi menjadi warisan keabadian yang penting.
Saya juga ingin menulis buku tentang sosok Sutopo, terutama buku yang ditujukan untuk anak-anak. Semoga ada energi, waktu, dan kesempatan untuk itu.[]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H