Tahun 1980-an hingga awal 2000-an "musuh" terberat dalam menumbuhkan kebiasaan membaca pada anak-anak adalah televisi. Walaupun demikian, praktis yang dihadapi kala itu hanya satu musuh, anak-anak masih banyak yang memilih bacaan sebagai hiburan.
Pada akhir tahun 1970-an, berkah dari meroketnya harga minyak dunia, Pemerintah Orba memaklumkan proyek buku bacaan anak yang populer disebut Proyek Inpres. Pada masa ini para sastrawan ikut berkontribusi menulis buku anak dan penulis-penulis buku anak yang baru turut meramaikan industri buku dengan karya-karyanya.
Nama-nama populer dalam jagat perbukuan anak di antaranya Dwianto Setiawan, Djoko Lelono, Bung Smas, C.M. Nas, hingga sastrawan kawakan, seperti Titie Said, Arswendo Atmowiloto, dan Toha Mohtar. Banyak anak Indonesia bertumbuh kembang dengan karya-karya para penulis itu, tidak terkecuali karya penulis asing.
Enid Blyton, Hans Christian Andersen, Karl May, Beatrix Potter adalah di antara nama-nama penulis asing yang karyanya juga dinikmati anak-anak tahun 1970-1980-an.
Tahun-tahun sebelum merebaknya internet itu, kegiatan membaca buku konvensional pada anak begitu meriah. Kini, tantangannya ekstrem berubah ketika para orangtua harus berhadapan dengan "musuh" membaca yang lain di dunia maya, seperti Youtube, gim (game), dan media sosial.
Apakah anak-anak kini juga gemar membaca buku? Bagaimana dengan buku elektronik? Belum ada riset yang serius soal ini dilakukan pemerintah atau asosiasi terkait sehingga angka-angka valid belum tersedia.
Satu survei yang pernah dilakukan Nielsen Consumer and Media View (NCMV) tahun 2016 pada anak-anak Indonesia rentang usia 10-14 tahun dan 15-19 tahun (17.000 responden di 11 kota besar), menunjukkan bahwa aktivitas membaca media cetak hanya tinggal 4% . Adapun membaca buku dibandingkan aktivitas lain (berolahraga, menonton TV, mendengarkan musik, meramban internet) menempati posisi buntut hanya 11%.
Dari sini tergambar tantangan para penulis dan penerbit buku anak kini yaitu bagaimana dapat mencuri perhatian Generasi Milenial untuk membaca. Begitupun orangtua bagaimana menanamkan kebiasaan membaca buku pada anak.
Tentu saja pengaruh bacaan itu eksistensinya tidak perlu dipertanyakan lagi. Namun, apakah para penulis buku anak kini paham dan mampu bagaimana menulis buku anak yang menancapkan pengaruh? Baik fiksi maupun nonfiksi?
Kreativitas dan inovasi adalah jawaban nomor satu. Ide saja tidak cukup apabila hanya menghasilkan karya biasa, apalagi sudah banyak ditulis orang lain.
Nomor dua adalah konsistensi dalam berkarya bagi para artisan buku anak, baik itu penulis, ilustrator, maupun desainer buku anak. Konsistensi untuk terus belajar dan bereksperimen dengan ide-ide kreatif.