Lihat ke Halaman Asli

Bambang Trim

TERVERIFIKASI

Pendiri Penulis Pro Indonesia

Haruskah Hak Cipta Buku Didaftarkan?

Diperbarui: 27 April 2018   11:17

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi: Brafton.com

Teman-teman saya para penulis di jagat medsos kembali meramaikan isu plagiarisme. Seorang penulis dibombardir celaan tentang aksi plagiatnya terhadap lebih dari 20 cerpen. Padahal, namanya telah mulai mewangi sebagai penulis muda bertalenta.

Plagiator selalu ada dan lahir dari tiap generasi. Aksi plagiat juga semakin canggih dan kecanggihan pula yang membuat aksi plagiat dapat cepat diketahui. Plagiat tetap harus dilawan karena merupakan kejahatan besar---tidak ada alasan membela para plagiat, kecuali mereka melakukannya dengan tidak sengaja.

Isu plagiat memancing juga isu perlindungan hak cipta. Kita di Indonesia memiliki Undang-Undang Hak Cipta No. 28 Tahun 2014 (UUHC)---sebagai revisi dari UUHC No. 19 Tahun 2002. Di UUHC No. 28/2014 sangat jelas bagaimana perlindungan hak cipta dilaksanakan.

Selain itu, Indonesia juga tercatat sebagai anggota dari perjanjian hak cipta internasional, seperti Berne Convention (revisi di Paris), WTO Agreement, dan WTC. Artinya, hak cipta masyarakat Indonesia juga dilindungi secara internasional. Sebaliknya, hak cipta bangsa lain juga dilindungi oleh negara kita.

UUHC menjadi dasar hukum tertinggi perlindungan hak cipta. Setiap ciptaan, seperti buku, dilindungi UUHC. Karena itu, para plagiator buku sebagai pelanggar hak cipta semestinya sadar bahwa perbuatan mereka berkonsekuensi hukum, baik perdata maupun pidana.  Walaupun demikian, masih ada yang ragu terhadap perlindungan hak cipta tersebut atau masih ada yang merasa jika mereka melakukan plagiat, akan baik-baik saja.

Sebuah pertanyaan lalu diajukan oleh beberapa teman penulis kepada saya terkait isu hak cipta.

"Haruskah hak cipta buku didaftarkan atau dicatatkan di Dirjen Kekayaan Intelektual, Kemenkum HAM agar mendapat perlindungan?"

UUHC secara otomatis melindungi hak cipta para pencipta yang terdiri atas hak ekonomi dan hak moral. Pencatatan ciptaan bukanlah sebuah keharusan atau kemutlakan. Di dalam Pasal 64 ayat (2) UUHC disebutkan "Pencatatan Ciptaan dan produk Hak Terkait dimaksud pada ayat (1) bukan merupakan syarat untuk mendapatkan Hak Cipta dan Hak Terkait."

Jadi, pencatatan ini tidak lebih sebagai proses administrasi untuk mencatatkan ciptaan kita ke dalam daftar umum ciptaan dan juga dapat digunakan menjadi alat bukti apabila terjadi sengketa hak cipta---baik apabila penulis digugat orang lain, maupun apabila penulis menggugat orang lain.

Sentosa Sembiring (2013), praktisi hukum, dalam bukunya Aspek-Aspek Yuridis dalam Penerbitan Buku menuliskan bahwa pencatatan ciptaan berdasarkan UUHC (dalam hal ini UUHC No. 19/2002) tidaklah mutlak. Manfaat pencatatan ciptaan hanyalah untuk memudahkan pembuktian apabila terjadi sengketa hak cipta.

Lebih jauh ke belakang, Ajip Rosidi, pernah menulis artikel di majalah Optimis (1981) tentang pendaftaran hak cipta. Beliau menyatakan, "Sepatutnya undang-undang menentukan secara tegas, apakah ciptaan perlu didaftarkan atau tidak. Kalau mau didaftarkan harus dinyatakan dengan tegas bahwa ciptaan yang tidak didaftarkan tidak akan diakui keabsahannya."

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline