Dulu ada semboyan sebuah produsen obat dari Jerman yang sangat terkenal: Bayer jaminan mutu. Pada zaman Kalabendu kini ketika hoax bermaharajalela maka bolehlah tersebut nama-nama yang menjadi jaminan mutu produksi hoax. Nama-nama itu dapat merepresentasikan perseorangan ataupun sebuah situs yang benar-benar digdaya dalam membuat, mengemas, serta mengedarkan hoax. Kalau Saracen, hoax-nya masih kurang bermutu--seperti kata Effendi Ghazali dalam ILC bertopik "Halal-Haram Saracen" bahwa cara memilih nama Saracen saja kurang bermutu.
Indonesia ini unik sekaligus lucu. Apa yang disebut barang bermutu itu dapat terbagi-bagi lagi, yaitu bermutu asli (alias original), bermutu nomor 1 (kwalitas atau KW1), bermutu nomor 2 (KW2), dan seterusnya. Pokoknya, semua bermutu meskipun kadarnya berbeda-beda; tidak ada yang tidak bermutu. Hoax pun demikian.
Sebagai sebuah produk, hoax melibatkan produsen dan konsumen, serta proses produksi yang memerlukan bahan baku. Para produsen memilih jalan hoax untuk motif ekonomi atau ideologi--tapi kebanyakan sih ekonomi. Mereka ibarat para pahlawan di medan pertempuran yang mendarmabaktikan jiwanya untuk SIAPA YANG MEMODALI. Mungkin karena itu nama-nama yang digunakan dalam jagat maya adalah nama-nama yang terkesan heroik sebagai jaminan mutu.
Masa sih, benar-benar ada orang-orang yang mendarmabaktikan hidupnya untuk hoax? Tentu saja ada karena hoax memang dapat menjadi tambang uang bagi si pembuatnya. Tidak ada makan siang yang gratis. Artinya, si pembuat hoax mendarmabaktikan hidupnya untuk produksi hoax bukannya tanpa pamrih.
Bahkan, usaha bercocok tanam hoax itu makin seksi ketika hoaxer tidak perlu memiliki keahlian khusus dalam bidang tulis-menulis--cukup mampu menciptakan judul bombastis yang dapat di-copy paste serta menulis berita dengan huruf kapital semua. Ia hanya perlu melek sedikit tentang literasi teknologi dan literasi media plus ditambah kenekatan untuk "menjual" kebebasan dirinya jika tertangkap. Jadi, hoax ini benar-benar hebat sekaligus jahat karena dapat tumbuh di dalam masyarakat berdaya literasi rendah dan berdaya literasi tinggi--tidak menjadi soal. Mengapa? Karena daya literasi tidak akan mampu menangkal hoax jika tidak diikuti dengan peningkatan akal budi.
Lihat saja apa yang terjadi di AS. Siapa sangka anak-anak muda di kota kecil Veles, Makedonia, adalah produsen hoax yang efektif memenangkan Trump dalam pilpres AS 2016 lalu? Mereka tidak kenal Trump, tetapi mereka tahu bahwa Trump dapat menjadi ladang uang bagi mereka karena populer sekaligus kontroversial. Lalu, dibuatlah situs-situs penyebar hoax yang menggambarkan Trump secara positif sehingga dimakan oleh para pemujanya di AS. Amerika Serikat itu kurang apa. Posisi mereka adalah nomor 7 dari riset tentang negara yang paling literat sejagat versi CCSU (Indonesia di urutan ke-60). Akan tetapi, mengapa mereka juga terpapar hoax?
Ini jelas-jelas lucu, apalagi Trump menjadi presiden menimbulkan rasa geli. Namun, di balik kegelian kita, tersimpan bahaya kemungkinan Trump menyulut Perang Dunia Ketiga. Serius?
Para hoaxer negeri ini memang tidak perlu belajar ke Veles, Makedonia untuk membuat hoax, apalagi mengikuti kursus dan mengambil sertifikasi hoaxer lalu berhak menyandang gelar CMH (certified master hoaxer). Sama dengan AS, di Indonesia juga sedang terjadi krisis akal budi sehingga banyak nalar yang tumpul. Alhasil, hoaxer profesional dan amatir dapat hidup senang, tenang, dan berdampingan. Kebencian dan taklid buta adalah katalis yang menjadi pemercepat berkembangnya hoax. Daya literasi tinggi, tetapi kebencian dan taklid buta masih merasuki diri, tak ada gunanya untuk menangkal hoax.
Komoditas Hoax
Posisi hoaxsebagai komoditas dapat kita lihat dari dua sisi. Pertama, hoaxadalah produk yang dibuat sendiri, lalu disebarkan. Keuntungan yang diraih adalah melalui iklan seperti yang dilakukan remaja-remaja di Veles, Makedonia. Kedua, hoax diposisikan sebagai produk jasa yang akan dikerjakan berdasarkan pesanan seperti yang ditengarai terjadi pada Saracen. Mereka dibayar oleh pihak tertentu untuk melakukannya. Di setiap hoax terdapat korban yang menjadi target hoax atau terdapat objek yang menjadi topik hoax. Contohnya, hoax kesehatan menggunakan objek penyakit atau sesuatu yang dikatakan dapat menjadi penyembuh.