Saya menikmati akhir pekan ini (Sabtu/12/8) dengan riang di Mercure Hotel, Jalan Sabang, Jakarta Pusat. Tanpa saya sadari, undangan dari LPM UNS dan Bekraf ini telah mempertemukan saya dengan Bang Nasir Tamara, sang Ketum Satupena. Jadilah dua ketum asosiasi penulis yang lahirnya tidak berjarak waktu lama bersua. Saya dari Penpro, Bang Nasir dari Satupena. Plus Pak Sabartua Tampubolon (Direktur Harmonisasi Regulasi dan Standardisasi Bekraf) dan Mas Erlan Primansyah (Buqu). Kami pun sempat menyinggung soal competition dan co-opetition--ada kompetisi, tetapi kompetisi untuk menuju kemaslahatan bersama.
Adalah Penerbitan Digital yang menjadi topik Diskusi Kelompok Terpumpun (DKT) yang diinisiasi Bekraf bersama LPM UNS ini. Orang-orang muda pengembang penerbitan digital pun unjuk bicara, seperti Brilliant Yotenega dari Nulisbuku.com, Ardianto Agung dari Bookslife.co, Anita Chairunisa dari Bitread.id, serta teman-teman penerbit dari Mizan, Noura, Alvabet, dan Bumi Aksara.
Saya sendiri menyoroti definisi dan klasifikasi yang disebut penerbit digital ini berdasarkan bahasan awal di buku panduan yang dibagikan. Soalnya kelahiran penerbitan digital tidak terlepas dari organisasi konvensional bernama penerbit yang memiliki bahan baku naskah (konten). Lalu, migrasi atau diversifikasi penerbit konvensional menjadi penerbit digital adalah dengan mengembangkan platform atau menggunakan platform penerbitan digital, seperti PDF, ePub, HTML, Kindle, dan banyak lagi untuk menghasilk produk digital.
Di buku panduan juga masih dicampur antara penerbitan buku dan penerbitan media dengan keluaran produk buku-e, jurnal-e, majalah-e, CD interaktif, dan arsip-e. Semua jelas serba-elektronik. Dengan model pengklasifikasian seperti ini maka akan banyak sekali model yang disebut penerbit digital. Adapun makna penerbit di situ jelas harus kembali pada makna awalnya yaitu sebagai pengembang konten, bukan sekadar pengembang platform. Jadi, kalau tidak ada fungsi editorial atau produksi di situ, itu tidak dapat disebut penerbit digital atau penerbit elektronik, melainkan hanya penyedia platform.
Bang Nasir Tamara dalam diskusi ini menyoroti soal pajak penulis dan juga pentingnya penerbitan digital diberi ruang untuk berkembang untuk masa kini. Begitupun semangat orang muda seperti Ega (Brilliant Yotenega) yang memberi masukan industri ini (perbukuan) harus digegas dengan mendorong sebanyak mungkin orang mau dan mampu menulis. Para penulis harus diberi ruang untuk bertumbuh kembang secara mudah demi menghasilkan karya yang dapat dipublikasikan secara luas.
Jadi, sekali lagi saya ingin menekankan bahwa apa yang disebut disrupsi di dunia penerbitan buku sudah terjadi, bahkan beberapa tahun ke belakang. Ke depan digitalisasi ini akan semakin menggila dengan ciri utama semakin murah, mudah, dan meluas tanpa batas (ruang dan waktu). Satu hal yang paling penting, digitalisasi akan mendorong lahirnya generasi genial (cerdas luar biasa) yang membaca dan menulis. Paling tidak hal ini akan menjadi cara untuk meningkatkan kontribusi generasi milenial sebagai generasi literat yang dipersiapkan untuk menghadapi persaingan masa mendatang. Indonesia memiliki potensi untuk itu.
Di sisi lain, pemerintah juga harus mendukung dan memberi ruang bagi penerbit digital nasional untuk membesar karena jelas fenomena kedigdayaan media sosial dan produk digital dalam masyarakat Indonesia sangat menggiurkan--terutama dari sisi jumlah penduduk. Apa yang dilakukan Bekraf meskipun baru tahap awal ini sudah benar serta upaya menyatukan semua energi dan potensi nasional di bidang penerbitan adalah langkah maju untuk industri penerbitan.
Melahirkan generasi genial dalam era digital memang bukan sekadar impian. Itu dapat diwujudkan asalkan semua bersinergi dengan lokomotifnya pemerintah dan dunia akademis. Saya sih optimistis dan oke. Bagaimana dengan Anda?[]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H