Lihat ke Halaman Asli

Bambang Trim

TERVERIFIKASI

Pendiri Penulis Pro Indonesia

Negeri "Kesatria Baja Hitam"

Diperbarui: 26 Juli 2017   20:23

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Diskusi serius duo Bambang tentang perbukuan nasional. (Foto: Sofa)

Apa benar negeri kita saat ini mirip dengan Kesatria Baja Hitam? Negeri yang merespons keadaan dengan cara selalu berubah dan sayangnya perubahan itu adalah sikap pragmatis untuk solusi jangka pendek. Itu yang terlintas di benak saya saat menonton ILC tadi malam. Seorang narasumber mengungkapkan bagaimana sistem politik kita saat ini tidak ajek atau tidak dipersiapkan untuk antisipasi kondisi puluhan tahun ke depan. Akibatnya, sebuah regulasi baru terkadang menimbulkan kegaduhan, terutama memantik aroma persaingan partai-partai untuk merebut kekuasaan.

Sebenarnya, bukan hanya sistem politik, sistem ekonomi, sistem pendidikan, dan beberapa sistem kita lainnya, masih belum ajek. Para wakil rakyat masih berkutat menyusun UU demi UU. Jika UU itu selesai, kita pun masih mengkhawatirkan bahwa UU itu tidak mampu mengakomodasi kepentingan-kepentingan masa mendatang. Alhasil, muncul kasus seperti keluarnya Perppu tentang ormas karena UU yang ada dianggap mengandung kelemahan.

Sebelum nonton ILC menjelang tengah malam, saya sempat berdiskusi dengan Pak Bambang Wasito Adi (BWA). Beliau mantan Atdikbud di London, Inggris, dan juga sempat menjadi Kepala Pusgrafin (Pusat Grafika Indonesia), lalu ia mengubahnya menjadi Politeknik Negeri Media Kreatif (Polimedia). Beliau pelaku pendidikan sekaligus perbukuan yang sangat paham. Perbincangan duo Bambang ini terkait regulasi perbukuan. Beruntung kami berdua telah dilibatkan oleh Komisi X DPR-RI dan pemerintah untuk menyusun RUU Sistem Perbukuan (sebagai tim pendamping ahli) yang telah menghasilkan satu produk UU dengan nama UU No. 3 Tahun 2017 tentang Sistem Perbukuan.

Terus terang kami berdua berdiskusi dalam kegelisahan karena tidak ajeknya banyak sistem di negara ini. Salah satu yang nyata sebagai contoh adalah kurikulum pendidikan yang berkorelasi dengan penyediaan buku pendidikan. Ketidakajekan kurikulum jelas berpengaruh pada ketidakajekan model buku teks yang akan dikembangkan. Contohnya, pertanyaan yang mengemuka sekarang: Apakah kita sudah cukup yakin menerapkan model tematik dalam pemelajaran di SD kelas rendah? Apakah mendikbud yang akan datang tidak berpotensi mengubahnya kembali?

Pak BWA membandingkan dengan Inggris yang telah memiliki UU Perbukuan sejak tahun 1940-an. Regulasi sejak dini itu membuat Inggris menjadi salah satu kiblat perbukuan dunia. Coba lihat Indonesia, industri perbukuannya telah ada bahkan sejak  zaman sebelum kolonial Belanda yang dikembangkan oleh kaum Pribumi, lalu kaum Cina Peranakan. Artinya, sudah sangat lama. 

Pada 19 September 1975, di depan parlemen, Ajip Rosidi--ketua Ikapi masa itu--juga telah mendengungkan perlunya Indonesia memiliki UU Perbukuan. Lalu, dua puluh tahun kemudian, pada 1995, Kongres Perbukuan Nasional I juga merekomendasikan pemerintah menyusun UU Perbukuan. Ketua panitia Kongres Perbukuan Nasional saat itu adalah Prof. Dr. Jimly  Asshiddiqie--pakar hukum ini awalnya merintis karier di Depdikbud dan sangat peduli dalam soal perbukuan. Faktanya, baru empat puluh tahun kemudian UU ini terealisasi. Bayangkan, selama itu kita tidak pernah memiliki fondasi politik perbukuan yang ajek.

Kembali Pak BWA menganalogikan keajekan ini dengan London yang memiliki fasilitas kereta api bawah tanah (subway) tersusun sampai tujuh tingkat dengan titik-titik berhenti yang banyak dan rumit. Ketika beliau bertanya kepada petugas di situ kapan stasiun itu dibangun, jawabannya adalah pada abad ke-19. Artinya, pemerintah di sana telah memikirkan kondisi lalu lintas pada masa itu untuk seabad mendatang.

Bandingkan dengan ibu kota negara kita yang baru "diacak-acak" pada tahun ini untuk MRT dan LRT. Entah jika presidennya nanti berubah, jangan-jangan proyek infrastruktur ini diubah lagi sehingga begitulah yang terjadi bahwa negara kita ini adalah negara yang belum selesai seperti episode Kesatria Baja Hitam yang musuhnya selalu ada dan tidak musnah-musnah.

Dalam soal kebijakan perbukuan saja, sejak Orde Baru, saya mencatat ada lima perubahan kebijakan perbukuan yang berpengaruh. Mulai proyek Inpres dan buku paket; Proyek Buku Terpadu (PBT); swastanisasi buku teks dan penilaian buku teks; buku sekolah elektronik (BSE); hingga buku K-13. Sampai saat ini K-13 juga masih disempurnakan sehingga buku yang digunakan juga dicemaskan dapat berubah sewaktu-waktu mengikuti kurikulum. Itu yang biasa terjadi.

Apa yang sudah baik dan dibangun masa lalu, sering kali diubah sehingga menjadi bermasalah saat ini. Contohnya setelah sukses melaksanakan Proyek Buku Terpadu (zaman Pak Daoed Joesoef dan Pak Fuad Hassan), Pusat Perbukuan (Pusbuk) sebagai satu-satunya lembaga yang memiliki kewenangan menjalankan kebijakan perbukuan dibentuk dengan Keppres. Pada masa Pak Muhammad Nuh, Pusbuk disatukan dengan Pusat Kurikulum (Puskur) menjadi Puskurbuk dengan Kepmen. Lucu juga Keppres dapat dimentahkan oleh Kepmen. Sebelumnya, pemerintahan Presiden B.J. Habibie juga membentuk Dewan Buku Nasional (DBN) dengan semangat reformasi perbukuan. Namun, DBN dibubarkan karena dianggap tidak efektif pada masa akhir pemerintahan Presiden SBY.

Lalu, UU Sisbuk kembali mengamanatkan dan menegaskan bahwa harus dibentuk suatu lembaga yang mengurusi dan mengawasi berjalannya sistem perbukuan ini. Logikanya, tidak mungkin Puskurbuk yang sudah tertatih-tatih menjalankan tupoksi sekaligus di bidang kurikulum dan perbukuan diajak berlari melaksanakan UU No. 3/2017. Lembaga perbukuan baru harus dibentuk dengan dipimpin setingkat eselon 1, apa pun namanya. Jadi, idealnya kita kembali ke zaman PBT yang digagas Pak Daoed Joesoef. Harus diakui kebijakan perbukuan mantan Mendikbud yang terkenal "keras" itu telah menjalankan business process terbaik dalam regulasi perbukuan sejak Orde Baru. Karena itu pula, sistem yang sudah berjalan itu mendorong kepercayaan Bank Dunia untuk memberi pinjaman pengembangan perbukuan nasional. Namun, menjelang reformasi, Bank Dunia mengumumkan membatalkan pinjamannya tersebab proyek yang dinamai Proyek Pengembangan Buku dan Minat Baca (PBMB) itu terindikasi korupsi.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline