Pasti sering dong melihat suasana pada foto di atas? Foto itu saya kutip dari beranda FB Cik Hasri Hasan, kenalan penggiat perbukuan dari negeri jiran. Di FB tentang fotonya itu ia menulis begini dalam bahasa Inggris: Let's slap our own face 3 times and don't call ourselves a progressive nation if we can't even lift our own litter into the bin. We have to settle this problem before we talk about TN50. Shame! (And it is in Ramadan too). Terjemahannya: "Mari menampar wajah kita tiga kali dan jangan menyebut diri kita ini bangsa yang progesif jika kita, bahkan tidak dapat meletakkan sampah kita sendiri ke tempat sampah. Kita harus menyelesaikan masalah ini sebelum bicara soal TN50. Malu! (Dan sekarang Ramadan pula).
TN50 adalah singkatan dari Transformasi Nasional 2050, sebuah program yang dicanangkan oleh Pemerintah Malaysia pada September 2016 untuk mempersiapkan negara itu menjadi negara besar tahun 2050. Tapi, seperti yang Cik Hasan tulis bagaimana negara itu mau bertransformasi menjadi bangsa yang besar kalau urusan makan dan selesai makan masih bermasalah. Dan ini juga terjadi di negara kita, Indonesia yang juga menggadang-gadangkan Revolusi Mental.
Sebelum mudik, saya sempat juga posting foto di Instagram suasana rest area darurat selepas pintu tol Cikarang arah Bandung. Area itu dipenuhi tebaran sampah. Seorang kenalan bernama dr. Tauhid Nurazhar langsung berkomentar prihatin tentang perilaku membuang sampah seenaknya itu. Saya juga membalas komentarnya mungkin karena ini mau lebaran dan darurat, yang membuang sampah merasa bebas saja melakukannya. Biasa dan mohon dimaklumi. Tapi, jelaslah kita prihatin dengan kondisi yang makin lama makin menjadi biasa ini.
Saya pernah juga menuliskan perihal membiarkan bekas makan di resto cepat saji beberapa waktu lalu di beranda FB ketika berkunjung ke Kyoto, Jepang. Di salah satu mal di sudut kota Kyoto, saya mengantre di gerai McD bersama putri saya. Selang dua orang Jepang yang mengantre, ada sepasang muda mudi orang Indonesia. Lama sekali mereka bertanya ini-itu soal pesanan. Tapi, dua orang Jepang yang ikut mengantre tampak cukup sabar. Saya juga cukup sabar melihat dua orang Indonesia itu dan yang wanita memakai baju dengan belahan punggung terbuka (Semoga kesabaran saya tidak disalahartikan).
Singkat cerita kami pun makan berdua di dekat mereka. Usai makan, pasangan itu meninggalkan begitu saja bekas makanan yang terserak. Pengunjung yang baru datang, tentu saja orang Jepang, memandang bingung. Cepat tersadar, mereka dengan rela membersihkan bekas makanan orang Indonesia itu, lalu membuangnya ke tempat yang telah disediakan. Mungkin di benak mereka ada umpatan, "Dasar Melayu!". Tapi, itu imajinasi saya saja yang turut gusar.
Itu masih sesama negara Asia yang sudah lebih maju dan lebih "berbudaya" soal membuang sampah ke tempatnya. Di Eropa juga setali tiga uang. Saat berada di Paris untuk kali pertama kunjungan saya tahun 2003, saya juga berkelakuan seperti orang Indonesia kebanyakan. Sehabis makan, meninggalkan begitu saja bekas piring/gelas. Rupanya si pelayan memanggil saya kembali dan memberi kode menunjuk bekas piring/gelas yang saya gunakan. Baru saya mengerti ia meminta saya untuk mengangkatnya dan menempatkan di tempat yang telah disediakan.
Mereka bekerja efektif; melayani pembeli, memasak, menyiapkan hidangan, dan juga mencuci piring/gelas sendiri. Mereka tidak punya waktu membersihkan meja dan mengangkat piring/gelas kotor. Pengunjung diajak untuk bekerja sama soal itu. Demikian pula di restoran-restoran cepat saji di Jepang, tidak ada pelayan yang khusus membersihkan meja dari sisa makanan serta piring/gelas kotor. Masyarakat di sana sudah terdidik untuk melakukannya sendiri--mengangkat piring/gelas ke tempat penampungan dan membuang sampah-sampah di atasnya.
Kita, "orang Melayu" ini memang sudah terbiasa dan terlena sebagai raja, lalu menjadi kebiasaan sebuah bangsa berbineka ini. Antara Indonesia dan Malaysia boleh dikata hampir sama saja soal masalah makan yang satu ini. Saya tida memungkiri kadang pun berlaku demikian karena didorong oleh kebiasaan buruk tadi yang terkondisikan. Tapi, begitu bertandang ke negeri orang, barulah tersadar betapa mulianya sikap orang-orang asing ini soal kebersihan dan betapa malunya "awak" ini.
Satu hal lagi masalah makan adalah ketidakrelaan berbagi tempat dan ketidakrelaan untuk mengantre. Saya membaca juga berita miris bagaimana kericuhan terjadi gara-gara berebut tempat makan di De Ranch Bandung--tempat wisata ala cowboy di Lembang. Yang satu mempertahankan meja, yang lain menyerobot meja. Sekali lagi, itu terjadi pada saat Idulfitri.
Kita sudah terbiasa untuk tidak mau berbagi tempat makan apabila suatu restoran atau kafe penuh pengunjung. Jangankan berbagi meja, berbagi kursi saja enggan. Demi menyelamatkan kepentingan, sering sifat egois muncul dengan menempatkan tas/barang di kursi yang semestinya dapat digunakan orang lain. Tas/barang di kursi itu semacam kode, kursi ada yang punya dan tidak boleh dipakai.