Lihat ke Halaman Asli

Bambang Trim

TERVERIFIKASI

Pendiri Penulis Pro Indonesia

Menyusuri Liku Sejarah Buku

Diperbarui: 23 April 2018   22:55

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber: Fachmy Casofa

Menjelang Hari Buku Nasional, 17 Mei ....

Tidak mudah bagi saya untuk tertarik melakukan studi pustaka pada tumpukan buku dan berkas-berkas yang sangat tidak menarik untuk dibaca. Buku dan berkas-berkas itu adalah terbitan tahun 1980-an dan 1990-an tentang kebijakan perbukuan di Indonesia. Satu-satunya (atau dua-duanya) yang menarik untuk saya baca dan pelajari adalah buku 50 Tahun Ikapi Membangun Masyarakat Cerdas (diterbitkan Ikapi dan ditulis oleh Hawe Setiawan, dkk.) serta Buku dalam Indonesia Baru (terbitan YOI yang disunting oleh Alfons Taryadi). 

Saya mengemban tugas tidak ringan, apalagi kalau bukan menulis buku bentangan sejarah yang memperlihatkan dinamika kebijakan perbukuan era Orde Baru hingga saat ini. Tugas ini muncul dari Puskurbuk setelah saya terlibat aktif sebagai anggota tim pendamping ahli untuk RUU Sistem Perbukuan (Sisbuk) dan kemudian beberapa kali diminta Puskurbuk untuk menjadi narasumber diskusi dan rapat terkait perbukuan. RUU Sisbuk sendiri sudah disahkan dalam rapat paripurna DPR-RI tanggal 27 April lalu.

Namun, saya bersyukur bahwa tugas ini membuka mata saya terhadap sejarah perbukuan nasional, khususnya di bidang buku pendidikan yang penuh dinamika dan beberapanya melahirkan kontroversi. Saya menjadi paham bahwa satu-satunya proyek buku paling ambisius dan terencana dengan proses bisnis yang sangat baik adalah pada zaman Menteri P&K Daoed Joesoef yang memaklumkan Proyek Buku Terpadu (PBT). Ini adalah proyek sentralisasi buku pendidikan yang dilakukan pada masa awal Orba berkuasa dengan menggunakan dana APBN dan pinjaman Bank Dunia. Proyek ini jelas tidak membuat kalangan penerbit swasta happy.

PBT bertahan lebih dari satu dekade hingga kemudian pada masa Menteri P&K Fuad Hasan, kebijakan perbukuan pemerintah mulai berubah. Fuad Hasan adalah menteri yang membuka kran keterlibatan swasta dalam penerbitan buku teks utama (buku pelajaran pokok) setelah dua menteri sebelumnya (Daoed Joesoef dan Nugroho Notosusanto) enggan berpihak pada swasta. Lalu, Wardiman Djojonegoro melanjutkan program pengadaan buku yang juga banyak melibatkan swasta untuk turut serta. 

Pada zaman Menteri Wardiman, terselenggara Proyek Pengembangan Buku dan Minat Baca (PBMB) yang lagi-lagi didanai dari pinjaman Bank Dunia dengan alokasi US$ 132 juta. Putaran pertama proyek ini mulus untuk pengadaan buku teks untuk SLTP, namun pada putaran kedua proyek ini dihentikan oleh Bank Dunia karena terindikasi adanya kolusi dan korupsi. Buntutnya Bank Dunia kemudian mengeluarkan daftar hitam 10 individu dan 26 perusahaan penerbitan yang diduga melakukan praktik curang serta korupsi dalam proyek PBMB dan meminta Pemerintah Indonesia mengembalikan dana sebesar US$ 10 juta.

Dua Mendikbud lain yang memberi pengaruh terhadap kebijakan perbukuan dan menjadi fenomenal--di luar dampak baik atau buruk yang ditimbulkannya--adalah Bambang Soedibyo dan M. Nuh. Bambang dikenal sebagai menteri yang menginisiasi program buku sekolah elektronik (BSE) dengan mekanisme pembelian hak cipta buku-buku teks yang sudah lolos penilaian. M. Nuh dikenal sebagai Mendikbud yang memaklumkan Kurikulum 2013 (K-13) dan kemudian berambisi mengembalikan era PBT dengan menerbitkan buku teks secara mandiri oleh pemerintah. Namun, pengadaan buku yang tergesa ini menimbulkan banyak kelemahan sampai kemudian Mendikbud Anies Baswedan menunda pelaksanaan K-13, bahkan merevisinya. Buku-buku K-13 versi pemerintah yang lama itu pun menjadi tidak jelas riwayatnya.

Anies Baswedan adalah Mendikbud yang ketika itu telah memberi sinyal untuk mempersilakan kembali keterlibatan swasta dalam pengadaan buku teks. Pemerintah tidak ingin memonopoli. Di samping itu, Anies mengeluarkan Permendikbud No. 8/2016 yang mengatur ketentuan tentang buku yang digunakan di satuan pendidikan. Saya sempat mengkritik beberapa kelemahan substansi Permendikbud ini dan menyampaikannya kepada Kabalitbang Kemendikbud.

Belum sempat Anies memperbarui kebijakan perbukuan secara nasional, ia harus digantikan Menteri Muhadjir Effendy. Tiba-tiba sang Menteri baru harus tertarik pua pada pusaran persiapan UU Sisbuk. Panja RUU Sisbuk Komisi X DPR-RI sempat ngotot agar pemerintah membentuk badan perbukuan yang dipimpin setingkat menteri, bahkan pimpinannya harus melalui fit and proper test

Namun, kemudian DPR melunak dan pembicaraan pada tingkat menteri adalah disiapkannya satu badan perbukuan yang dipimpin pejabat eselon I. Babak baru perbukuan nasional memang tengah dinantikan akan terjadi sehingga benar-benar dapat membereskan masalah Indonesia dalam soal daya literasi, minat membaca, dan minat menulis.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline