Ini mungkin satu bentuk kegelisahan saya saja yang berkecimpung di dalam dunia penulisan-penerbitan Indonesia. Sejak berkarier tahun 1994, terus terang saya belum bergabung dalam organisasi penulis atau asosiasi penulis mana pun. Pertanyaan saya: Mana asosiasi atau organisasi penulis yang benar-benar resmi di Indonesia dan diakui sebagai satu-satunya wadah profesional penulis Indonesia?
Pertanyaan ini juga mewakili sedikit kelesah saya manakala pemerintah jadi memberlakukan Undang-Undang Sistem Perbukuan Nasional ataupun mengeluarkan kebijakan-kebijakan tentang penulisan-penerbitan, siapakah asosiasi penulis yang mewakili pemangku kepentingan di dalam industri penerbitan? Asosiasi penerbit jelas sudah diwakili Ikapi, asosiasi pencetak diwakili PPGI, asosiasi toko buku diwakili GATBI, dan asosiasi penerjemah diwakili HPI. Asosiasi penulis pun tidak jelas diwakili siapa. Hal yang sama juga terjadi pada editor yang belum memiliki wadah resmi organisasi.
Dalam sejarahnya yang saya selisik di buku Leksikon Kesusastraan Indonesia Modern (editor: Pamusuk Eneste) pernah berdiri Persatuan Karyawan Pengarang Indonesia (PKPI) berdasarkan hasil Konferensi Karyawan Pengarang Indonesia, 1-7 Maret 1964 dengan ketua pertamanya Gayus Siagian. Pembentukan PKPI sangat kental dipengaruhi situasi politik masa itu.
Dalam buku lain Leksikon Susastra Indonesia yang disusun Korrie Layun Rampan disebutkan juga ada Himpunan Pengarang Indonesia Aksara (HPI Aksara) berdiri tahun 1981 yang dipelopori para pengarang perempuan, seperti Titie Said, Titiek W.S., Maria A. Sardjono, Sari Narulita, dan La Rose. Pembentukan organisasi ini juga didukung oleh Gerson Poyk, Arswendo Atmowiloto, Korrie Layun Rampan, Hamsad Rangkuti, Rahmat Ali, Matheus Elanda Yosi Ds., Leon Agusta, dan lain-lain. Tercatat ketua terakhirnya (1996) adalah Titiek W.S.
Dalam makalahnya pada Kongres Perbukuan Nasional I (29-31 Mei 1995), Titie Said mencatatkan beberapa organisasi penulis/pengarang Indonesia, yaitu
- Himpunan Pengarang Indonesia Aksara;
- Ikatan Pengarang Indonesia (IPINDO);
- Persatuan Penulis Indonesia (Peperindo);
- Wanita Penulis Indonesia;
- Forum Sastra Wanita "Tamening" di Sumatera Barat, yang baru berdiri (kala itu);
- Beberapa himpunan penulis di daerah, seperti Yogya, Bandung, Bengkulu, dan lain-lain.
Titie Said masa itu juga sudah mengeluhkan sulitnya berkembang asosiasi penulis di Indonesia dan tidak semua penulis/pengarang mau menggabungkan diri. Trauma prahara budaya masa-masa tahun 1960-an, menurut Titie, tampaknya masih berpengaruh.
Jelas masa itu ketika diselenggarakan Kongres Perbukuan Nasional I yang muncul kali pertama sebagai asosiasi penulis/pengarang Indonesia adalah HPI Aksara karena organisasi lain terpecah-pecah di daerah dalam lingkup kecil. Kondisi saat ini sama dengan kondisi dua puluh tahun yang lalu. Bolehlah kita menyebutkan ada organisasi semacam Forum Lingkar Pena (FLP) yang masih eksis menghimpun para penulis/pengarang di berbagai daerah Indonesia, bahkan luar negeri. Namun, kita memerlukan satu yang bersifat nasional dengan nama Indonesia dan menghimpun para penulis/pengarang dari berbagai kalangan, termasuk para sastrawan senior dan juga penulis-penulis senior dari ranah nonfiksi.
Ya, masa kini ketika komunitas begitu mudah didirikan, di media sosial kita bisa bersua begitu banyak komunitas ataupun organisasi-organisasi penulis dalam lingkup terbatas, baik nasional maupun lokal. Contohnya, ada Asosiasi Guru Penulis Indonesia (Agupena) yang juga tersebar di beberapa kota di Indonesia. Jika saya tikkan kata kunci "asosiasi penulis" di Google, keluarlah pada urutan teratas Asosiasi Penulis Ideologis Islam (API Islam), Asosiasi Penulis Cerita (Anita), dan Asosiasi Pengarang-Penulis Indonesia. Namun, tidak ditemukan situs resminya, hanya tercatatkan di facebook atau berupa alamat saja di Yellow Pages.
Mengapa organisasi atau asosiasi penulis resmi dan diakui pemerintah penting? Tentulah akan banyak kepentingan para penulis/pengarang Indonesia bisa lebih disuarakan dan program promosi minat membaca serta minat menulis juga bisa disinergikan dengan pemerintah ataupun pemangku kepentingan lain di industri penerbitan. Konflik-konflik kepentingan antara penulis/pengarang dan penerbit juga dapat diselesaikan antar-asosiasi.
Sebagai contoh ketika pemerintah memberlakukan program buku sekolah elektronik (BSE), pemerintah menawarkan opsi pembelian hak cipta berjangka (sistem flat fee atau outright). Dari sisi kepentingan penulis dan penghargaan terhadap hak cipta, angka imbalan maksimal Rp100 juta per judul buku untuk eksploitasi karya selama lima belas tahun adalah sangat kecil dan tidak layak (rata-rata Rp6,6 juta per tahun atau Rp550.000 per bulan). Itu kalau mendapatkan Rp100 juta dan kalau kurang dari itu, angka yang diterima penulis per tahun atau per bulannya selama lima belas tahun lebih minim lagi. Bandingkan dengan angka penerimaan penulis buku pelajaran per tahun dari penerbit dengan sistem royalti yang bisa berjumlah puluhan, bahkan ratusan juta rupiah.
Jadi, penulis hanya diberi "keuntungan" sesaat dari kompensasi tersebut, di sisi lain buku karya ciptanya dapat dieksploitasi secara besar-besaran oleh siapa pun dengan cara mengunduh, sekaligus mencetak dan menjualnya (meskipun dengan harga pagu yang ditetapkan pemerintah). Tidak ada asosiasi penulis yang bisa bersuara untuk hal ini dan menentang opsi pembelian hak cipta tersebut. Meskipun ada "embel-embel" demi kepentingan negara dan pendidikan Indonesia, tidak mesti pemerintah juga mengabaikan hak-hak para penulis buku pelajaran tersebut. Bagaimanapun imbalan yang fair untuk eksploitasi hak ekonomi buku pelajaran adalah dengan royalti berdasarkan buku yang terjual.