Sekelebat Cerpen | Ramadan Indah
Selama bulan ramadan, pertemuan saya dan Indah relatif lebih banyak dibandingkan dengan hari-hari pada bulan selain ramadan. Dan kami menyadari risikonya juga lebih besar dibandingkan dengan hari-hari biasa. Yaitu, risiko terhadap sesuatu yang bisa mengurangi kesempurnaan puasa kami.
Di bulan ramadan ini, hampir setiap hari saya dan Indah ngabuburit, membeli takjil dan dilanjutkan dengan buka puasa bareng. Demikian juga untuk kegiatan setelah Imsak, atau tepatnya setelah subuh, biasanya kami isi dengan jalan-jalan pagi. Seandainya sholat Tarawih kami lakukan bersama di Masjid terdekat, itu akan semakin menambah banyak jumlah pertemuan antara saya dan Indah bila dibandingkan dengan pertemuan pada hari-hari biasa.
Terkait dengan risiko tadi, untungnya selama pacaran atau jalan-jalan berdua bersama Indah, kami tidak neko-neko atau tidak macam-macam, karena dalam pacaran saya dengan Indah diisi dengan kegiatan-kegiatan yang bermanfaat seperti diskusi tentang rencana yang terkait untuk rumah tangga kami kelak. Kalaupun ada kemesraan diantara kami berdua, itu tetap dalam batas-batas yang tidak melanggar akidah dan syariat agama. Sehingga ketika tiba bulan puasa, gaya berpacaran kami masih tetap sama dan terkendali. Semua didasari pada prinsip berpacaran yang sangat menghormati nilai-nilai etika dan agama.
Sebenarnya ada yang sangat ideal untuk orang-orang yang berpacaran di bulan puasa. Jika yang sangat ideal itu diikuti maka akan terhindar dari risiko melanggar etika dan agama. Apakah itu?
Jawabnya adalah jangan berpacaran selama bulan puasa. Baik berpacaran secara analog atau melalui pertemuan langsung atau offline, maupun berpacaran secara digital atau melalui sarana komunikasi secara online. Jika kedua moda berpacaran tadi tidak dilakukan, maka hampir dipastikan tidak akan terjadi hal-hal yang melanggar aturan agama dan etika. Persoalannya adalah bisa tidak?
"In, saya punya usul nih, coba Indah pertimbangkan ya, In?" Saya sampaikan hal ini ketika ngabuburit di Alun-alun Bandung, sambil duduk-duduk santai menunggu saatnya berbuka puasa.
"Usul tentang apa itu, Mas Bambang?"
"Tentang kekhusukan berpuasa ramadan, In."
"Maksudnya?"
"Maksudnya, untuk bulan ramadan ini, Indah setuju nggak kalau kita tidak bertemu atau tidak berpacaran, baik secara offline maupun online?"
"Sebentar dulu, Mas Bambang, sebelum usulan Mas Bambang kita bahas alangkah baiknya kita jawab dulu pertanyaan mengapa sekarang ini kita berpacaran?"
Terhadap pertanyaan Indah tersebut saya tidak paham kemana arah yang hendak dibicarakan oleh Indah.
"Saya tidak paham, In. Tidak paham apa yang sebenarnya dimaksudkan oleh Indah terkait pertanyaan Indah tersebut"
"Kita berpacaran karena mengisi waktu tunggu selesainya kasus Indah. Betul kan, Mas?"
"Iya betul, In."
Saya baru paham setelah Indah mengatakan hal tersebut. Artinya, seandainya kasus Indah tersebut sudah dulu-dulu selesai atau tidak lama menggantung, maka hampir dipastikan sekarang ini sudah tidak berpacaran lagi, tapi sudah sebagai suami-istri yang sah.
"Dengan jawaban betul dari Mas Bambang tadi, apakah usulan Mas Bambang masih relevan?"
"Ya masih relevan, In. Bukankah tadi usulan saya tersebut tentang kekhusukan berpuasa ramadan dengan cara tidak berpacaran baik secara offline maupun online."
"Berarti Mas Bambang khawatir ya kalau berpacaran bisa menyebabkan puasa kita tidak khusuk atau bisa mengurangi kesempurnaan ibadah puasa karena kita bukan suami-istri?"
"Iya, In"
"Kalau dua-duanya baik offline maupun online, Indah tidak bisa, Mas Bambang."
"Kenapa tidak bisa, In?"
"Jangan dipaksakan ke Indah ya Mas Bambang, nanti Indah nangis loh, Mas"
"Iya, In, tadi kan berupa usulan, boleh setuju boleh tidak setuju, kenapa Indah tidak bisa?"
"Karena bagi Indah kehadiran Mas Bambang sangat penting. Indah bisa stress atau depresi jika lama tak bertemu Mas Bambang"
"Kalau secara online kita tetap berkomunikasi, tapi secara offline kita tidak bertemu langsung, apakah Indah masih bisa?"
"Indah tidak yakin bisa, Mas Bambang"
"Kalau secara offline masih tetap bertemu, tetapi secara online sama sekali kita tidak berkomunikasi, apakah Indah bisa?"
"Nah, kalau yang ini, Indah yakin bisa, Mas Bambang"
"Hahahahaha......"
"Loh, kok Mas Bambang ketawa?"
"Ya pasti ketawa, In..soalnya lucu banget"
"Lucunya di mana, Mas Bambang?"
"Lucunya karena tidak hanya Indah saja yang bisa. Semua orang pasti bisa, In"
"Terus masalahnya apa kalau semua orang bisa?"
"Masalah dan tantangan utamanya justru ada di offline itu, In"
"O, begitu ya, Mas Bambang?"
"Iya, In"
"Terus bagaimana kesimpulannya tentang usulan dari Mas Bambang tadi, Mas?"
"Kesimpulannya adalah usulan saya batalkan, In"
"Hahahahaha....."
"Loh, kok gantian sekarang Indah yang ketawa?"
"Karena Indah senang banget, Mas Bambang"
"Senang banget karena setiap hari kita bisa bertemu seperti biasanya ya, In?"
"Iya, Mas Bambang"
"Ya, tapi ingat, kita harus tetap berhati-hati ya, In? jangan sampai kita melanggar norma agama di dalam berpuasa ramadan ini. Jadikan ramadan ini indah karena sempurna dalam pelaksanaannya ya, In?"
"Iya, Mas Bambang, Indah akan berusaha semaksimal mungkin, agar puasa ramadan Indah sempurna"
"Aamiin"
(ramadan indah, 2024)
Sekelebat cerpen ini dirangkai dengan cara singkat dan sangat sederhana untuk menceritakan tentang Ramadan Indah. Semoga bermanfaat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H