Sekelebat Cerpen | Pertemuan Indah
Harinya hari minggu, pagi pagi sekali saya sudah siap-siap untuk pergi jalan-jalan sendiri. Rute sudah saya siapkan dari Dago menuju Cibaduyut lalu terus menuju Kampung Mahmud. Di kampung ini saya berbaur dengan para peziarah. Di antara mereka ada yang sudah bermalam di sini, bahkan ada yang sudah beberapa hari tirakat menginap di sini. Ada pula yang baru datang. Aktivitas perekonomian masyarakat di Kampung Mahmud sangat hidup karena banyaknya kunjungan para tamu yang berziarah atau berwisata religi. Saya sudah berkali-kali datang ke sini menyisihkan sepi di hati, berdialog dengan diri sendiri dan mawas diri.
Saya biasanya juga menyempatkan ngopi di Warung Pak Tohir, sambil menikmati kehalusan dan kesantunan nada bahasa Sunda yang diucapkan warga kampung ini, juga dari para pengunjung yang berbahasa Sunda.
Belum sempat saya mencari posisi tempat duduk, hape saya berbunyi.
"Halo..."
"Iya, halo..."
"Mbang, lagi di mana ini?
"Di Kampung Mahmud, Bud." Namanya Budi, teman kos.
"Dicari Indah, Mbang."
"Kok nggak nelpon langsung ke saya?"
"Bilangnya, hapenya diambil suaminya. Lekas balik ke sini ya Mbang, kasihan Indah sudah nunggu lama."
"Ok, siap!!!" hape saya tutup dan langsung meluncur pulang ke tempat kos.
Di dalam perjalanan, batin saya berkecamuk antara perasaan bahagia karena datangnya Indah dan perasaan kuatir karena Indah telah nekat pergi meninggalkan keluarganya atau tepatnya meninggalkan suaminya. Dugaan saya ini pasti ada persoalan besar yang sedang dialami Indah. Bagaimana nanti kalau suaminya misal menyusul ke sini dan saya yang dijadikan sasaran amuk kemarahan Suaminya Indah?
Kalau sudah segawat seperti ini hanya doa yang bisa menenangkan hati saya, yaitu semoga diberikan solusi yang terbaik untuk masalah yang sedang dihadapi oleh Indah. Setelah hati agak tenang, kecematan motor mulai saya naikkan agar lebih cepat sampai ke tempat kos.
Sampai di tempat kos, saya lihat Indah sedang berdiri di depan pagar dan lari memeluk saya sambil menangis mengucapkan berkali-kali "Tolongin Indah ya Mas...Tolongin Indah". Tangisan traumatik. Jarang dan hampir tidak pernah Indah menyebut dirinya dengan Indah. Biasanya Indah menyebut dirinya sebagai aku, kadang-kadang menyebut dirinya sebagai saya. Saya melihat ada lebam-lebam biru di kening, di sudut mata, dan di pipi kirinya Indah. Hati saya ikut menangis dan merasa tidak rela, Indah diperlakukan seperti ini.
(pertemuan indah, 2024)
Sekelebat cerpen ini dirangkai dengan cara singkat dan sangat sederhana untuk menceritakan tentang Pertemuan Indah. Semoga bermanfaat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H