Sekelebat Cerpen | Indah (3)
"Ibu bertanya apakah Mas Bambang pacar saya."
"Terus kamu jawab apa, In?"
"Saya jawab, tidak tahu. Betul kan, Mas?"
Dalam batin saya, saya senang sekali seandainya Indah menjawab bahwa saya pacarnya. Tapi jika menjawab bahwa saya bukan pacarnya, saya juga tak akan menyalahkannya, karena memang di antara saya dan Indah selama ini tak pernah membahas tentang cinta.
"Saya jawab, tidak tahu. Betul kan, Mas?" Indah mengulangi pertanyaannya.
"Iya betul, In." Saya jawab sekenanya saja dengan cepat, takut kalau sampai ditanya yang ketiga kali.
Memang karena seringnya kami berdua, banyak teman yang menyangka bahwa Indah itu pacar saya atau saya pacarnya Indah.
Sebagai seorang Ibu, tentu sangat bisa dimengerti bila menanyakan hal itu ke anak semata wayangnya. Seorang Ibu pasti punya perasaan yang peka yang mampu menangkap sinyal kasih sayang yang saling berpantulan di antara anaknya dan tamu laki-lakinya (Indah dan saya). Hanya belum berani saling mengungkapkan saja, penyebabnya. Secara hati, saya sudah cocok dengan Indah, tapi saya tidak tahu apakah secara hatinya Indah, saya cocok dengannya.
Setelah saya rasa sudah cukup, maka saya mohon pamit ke Ibunya Indah dan semua anggota keluarga yang ada pada saat itu.
Saya tidak memperhatikan dengan cermat raut wajahnya Indah ketika berpamitan. Tapi ada perasaan tidak enak di dalam hati saya di sepanjang perjalanan pulang saya. Semacam perasaan akan kehilangan Indah. Juga perasaan bakal kosong hari-hari saya kelak tanpa Indah.